Jumat, 29 Mei 2009

Kelas Super, Wadah Pendidikan Khusus Bagi Anak-Anak Jenius


IQ di Atas 150, Nilai Matematika 10

Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta bekerjasama dengan Yayasan Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), dan Bayerische Motoren Werke (BMW) Indonesia baru saja me-launching kelas super khusus bagi anak jenius. September nanti, pendidikan bagi anak-anak pilihan ini akan dimulai.

PRESTASI anak-anak Indonesia di berbagai olimpiade sains internasional melahirkan inspirasi untuk membuat wadah bagi anak-anak yang berkemampuan tinggi. Karena itulah dibuat kelas khusus bagi anak-anak jenius yang nantinya akan mewakili Indonesia dalam berbagai even internasional.

"Kami menyebutnya kelas super. Karena isinya memang anak-anak berkemampuan super," kata Kepala Dinas Dikmenti DKI Jakarta Margani M. Mustar, saat me-launching kelas itu 10 Agustus lalu. Untuk sementara, kelas super ini baru dibuka di Jakarta. Ke depan, Dikmenti akan mengembangkan ke beberapa kota, seperti Surabaya, Semarang, Jogjakarta, dan Bandung.

Anak-anak berkemampuan super, memang ditengarai sangat banyak di Indonesia. Ketua Yayasan TOFI Prof Yohanes Suryo, pernah menguji IQ 1.500 siswa SMA di Indonesia. Di antara anak-anak tersebut, terdapat 40 siswa yang memiliki IQ di atas 150.

Untuk di Jakarta, Dinas Dikmenti meminjam salah satu ruang SMAN 3 Jakarta sebagai tempat belajar anak-anak kelas super. Alasannya, fasilitas yang tersedia di sekolah sudah memadai. Lokasinya juga cukup strategis, yakni di kawasan Kuningan. Kelas super juga akan memanfaatkan laboratorium-laboraturium di beberapa SMA lain.

Dalam satu-dua minggu ini proses seleksi akan dilakukan. Menurut Yohanes Suryo, yang berhak mengikuti seleksi adalah siswa yang memiliki nilai total minimal 28 dalam ujian nasional SMP, atau dengan rata-rata nilai minimal 9,33. Syarat lainnya, yakni memiliki nilai matematika 10.

Hasil penjaringan sementara, terdapat sekitar 3.000 siswa yang memenuhi persyaratan di atas. Selain itu akan diseleksi 2.000 siswa yang memiliki minat khusus di bidang sains. "Jadi total yang akan diseleksi sebanyak 5.000 siswa. Mereka akan menjalani tes potensi akademik (TPA). Jumlah itu dikerucutkan menjadi 50 siswa untuk mengikuti tes wawancara," kata Yohanes," kata Yohanes.

Lantas, seperti apa kelas super ini nantinya? Yohanes menjelaskan, dalam satu kelas terdiri dari 20-40 siswa. Mereka akan dibimbing oleh tenaga pengajar khusus bergelar master dan doktor (S2 dan S3). Para guru ini berasal dari beberapa lembaga seperti BPPT, Puspitek, ITB, dan sebagainya. Tentu saja, honor guru-guru ini juga berstandar lebih tinggi disbanding guru biasa. Maklum, BMW Indonesia memberikan support yang besar dalam program ini.

Kurikulum yang diberikan juga sedikit berbeda. Siswa akan mendapat materi pelajaran selevel dengan perguruan tinggi. "Asumsinya, pelajaran se-level SMA sudah mereka kuasai," kata Yohanes.

Pada saat kelas I, para siswa akan mendapat pelajaran fisika, biologi, kimia, matematika, dan komputer. Materinya disamakan dengan yang diterima mahasiswa semester pertama dan kedua. Untuk materi bahasa Inggris, akan diarahkan untuk penguasaan materi percakapan. Sedangkan, pelajaran bahasa Indonesia difokuskan untuk memberikan kemampuan menulis karya ilmiah. Para siswa ini juga diberi materi budi pekerti serta pelajaran musik klasik.

Saat naik ke kelas dua, siswa sudah diarahkan pada spesialisasi pelajaran tertentu. Makanya, materi sains yang diberikan juga fokus pada salah satu pelajaran, yakni matematika, kimia, biologi, atau kimia. Kelompoknya dirampingkan menjadi 5 siswa setiap kelas. Penyampaian materi juga dalam bahasa Inggris. Sedangkan pelajaran bahasa Inggris diarahkan pada kemapuan TOEFL dan menulis paper.

Untuk menambah wawasan, juga diberikan materi ekonomi, sosial, dan budaya. Juga diberikan materi kepemimpinan mengasah kemampuan para siswa dalam presentasi dan diskusi.

Naik ke kelas kurikulumnya berbeda lagi. Materi pelajaran sains sudah diarahkan sepadan dengan mate

Perhatian Khusus pada Pendidikan Khusus. Oleh : Nurma Cholida

KabarIndonesia - Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan menghabiskan waktu dan merayakan hardiknas bersama siswa-siswi sekolah luar biasa Siswa Budhi Surabaya. Berdasarkan refleksi diri dari pengalaman berharga itulah artikel singkat ini ditulis.

Sejak diberlakukannya UU No.20/2003 tentang Sisdiknas, maka sejak saat itu istilah pendidikan luar biasa berganti nama menjadi pendidikan khusus, demi memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa itu sendiri. Namun sayang, meski istilahnya telah berubah, perhatian pemerintah maupun stigma keterbelakangan di masyarakat toh tidak juga berubah. Malah makin memarginalkan kaum yang sudah termarginalkan ini.

Contoh nyata yang dilakukan masyarakat misalnya masih adanya tindak diskriminatif terhadap penyandang cacat. Bahkan saya masih menemukan orang tua yang menganggap kurang penting menyekolahkan anaknya ke sekolah khusus (SLB). Lantas, masih pantaskah kita menuntut mereka untuk mandiri dan berguna bagi masyarakat / lingkungannya jika kita sendiri enggan membukakan peluang bagi mereka untuk berkembang?

Sedang contoh ketidak-adilan yang dilakukan pemerintah lebih kompleks lagi. Mulai dari ketidak tersediaan fasilitas hingga kurangnya perhatian akan kesejahteraan guru pendidikan khusus. Padahal dalam pendidikan khusus jelas dibutuhkan perhatian yang khusus pula. Diperlukan perhatian yang luar biasa pula untuk memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa.

Menyedihkan sekali melihat di sekolah luar biasa yang sempat saya cicipi itu tidak ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang sebetulnya sangat diperlukan oleh masing-masing ketunaan. Misalnya, tidak tersedia ruang bina persepsi dan kedap suara bagi anak-anak tunarungu, tidak ada juga ruang latihan orientasi mobilitas dan mesin braille bagi anak-anak tunanetra, bahkan permainan khusus bagi anak-anak tuna grahita pun tidak ada, semua itu karena keterbatasan dana. Tanpa penyediaan fasilitas-fasilitas itu, sangat mustahil kiranya untuk meningkatkan aksesibilitas, partisipasi, dan kesempatan belajar anak-anak berkebutuhan khusus ini.

Sudah saatnya kita semua serius dalam usaha peningkatan mutu pendidikan khusus. Supaya mereka dapat menjadi pribadi yang mandiri dan mampu bersaing dengan anak-anak normal lainnya. Hal ini bisa diwujudkan dengan banyak cara, diantaranya pembangunan fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai dengan tiap-tiap ketunaan, mengembangkan kurikulum berstandar nasional, termasuk meningkatkan kualitas para pengajar di pendidikan luar biasa.

Pemerintah wajib memberi peluang yang sama bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini untuk memperoleh pendidikan terpadu dan sesuai dengan karakteristik ketunaannya.

Jika kita mau mencoba melihat dunia dengan kacamata mereka, tentunya kita akan temukan dunia yang berbeda. Mereka mungkin berkelainan, mereka mungkin tidak beruntung, baik secara fisik, sosial, ekonomi, ataupun kultural. Tapi mereka juga anak-anak manusia, yang juga berhak mendapatkan layanan pendidikan yang sama terbukanya seperti kita untuk mengenyam pendidikan yang layak.

Those who seems unfortunate are those who have more hidden wisdom. Give them chance, they will give you more.

YOGYAKARTA - Diperkirakan antara 3 - 7 persen atau sekitar 5,5 - 10,5 juta anak usia di bawah 18 tahun menyandang ketunaan atau masuk kategori anak

Resolusi No. 03/ VII/Tap/Munas-VI/Pertuni/2004

tentang Pendidikan Khusus

Menimbang:

  • Bahwa pendidikan bagi para penyandang cacat seyogyanya merupakan bagian yang integral dari sistem pendidikan umum;
  • Bahwa mereka yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus akibat kecacatan seyogyanya memperoleh akses ke sekolah umum yang dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan khususnya;
  • Bahwa sekolah umum dengan orientasi inklusi tersebut merupakan alat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan mencapai Pendidikan untuk Semua;
  • Bahwa sekolah semacam ini akan memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi dan pada akhirnya akan menurunkan ongkos bagi seluruh sistem pendidikan;
  • Bahwa pengiriman anak secara permanen ke sekolah luar biasa ‑ atau kelas khusus atau bagian khusus di sebuah sekolah umum ‑ seyogyanya merupakan suatu kekecualian, yang direkomendasikan hanya pada kasus-kasus tertentu di mana terdapat bukti yang jelas bahwa pendidikan di kelas reguler tidak dapat memenuhi kebutuhan pendidikan atau sosial anak, atau bila hal tersebut diperlukan demi kesejahteraan anak yang bersangkutan atau kesejahteraan anak-anak lain di sekolah umum;

Mengingat:

  • Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945;
  • Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (1990);
  • Peraturan Standar tentang Persamaan Hak dan Kesempatan bagi Penyandang Cacat (Resolusi PBB No. 48/96 Tahun 1993);
  • Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi mengenai Pendidikan Kebutuhan Khusus (Unesco, 1994);
  • Undang-undang RI No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat;
  • Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (khususnya Pasal 32);

Maka dengan ini Musyawarah Nasional Persatuan Tunanetra Indonesia, yang diselenggarakan pada tanggal 4-8 Januari 2004, mengusulkan kepada Presiden Republik Indonesia hal-hal sebagai berikut:

  • Hendaknya peraturan pemerintah tentang pendidikan khusus (yang seyogyanya dikeluarkan sesuai dengan amanat Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 32 ayat 3) mengakomodasi hak penyandang cacat untuk bersekolah dalam seting inklusi di sekolah umum dengan layanan pendidikan khusus.
  • Dalam Peraturan Pemerintah tersebut, hendaknya pendidikan khusus tidak diartikan sebagai pendidikan di sekolah khusus (atau sekolah luar biasa), melainkan layanan pendidikan khusus yang diberikan kepada para peserta didik penyandang cacat yang diselenggarakan dalam seting segregasi di sekolah khusus maupun dalam seting inklusi di sekolah umum.
  • Hendaknya SLB yang ada dikembangkan fungsinya sehingga mencakup fungsi sebagai pusat sumber bagi sekolah umum yang melayani peserta didik penyandang cacat.
  • Hendaknya Direktorat Pendidikan Luar Biasa beserta lembaga infrastrukturnya berfungsi sebagai lembaga koordinasi sistem pendukung pendidikan kebutuhan khusus bagi peserta didik penyandang cacat di berbagai seting pendidikan termasuk di sekolah umum.

Jutaan Anak di Indonesia Berkebutuhan Khusus

YOGYAKARTA - Diperkirakan antara 3 - 7 persen atau sekitar 5,5 - 10,5 juta anak usia di bawah 18 tahun menyandang ketunaan atau masuk kategori anak berkebutuhan khusus. "Apabila ditambah dengan anak-anak yang menggunakan kacamata, jumlahnya akan lebih banyak lagi," ungkap Prof dr Sunartini, SpA (K), PhD dalam pidato pengukuhan jabatan guru besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta di gedung senat perguruan tinggi itu, Kamis (28/5). Secara global, tuturnya, diperkirakan ada 370 juta penyandang cacat atau sekitar 7 persen populasi dunia, kurang lebih 80 juta di antaranya membutuhkan rehabilitasi. Dari jumlah tersebut, hanya 10 persen mempunyai akses pelayanan.

Istilah anak berkebutuhan khusus, kata dia, adalah klasifikasi untuk anak dan remaja secara fisik, psikologis dan atau sosial mengalami masalah serius dan menetap. Anak berkebutuhan khusus ini dapat diartikan mempunyai kekhususan dari segi kebutuhan layanan kesehatan, kebutuhan pendidikan khusus, pendidikan layanan khusus, pendidikan inklusi, dan kebutuhan akan kesejahteraan sosial dan bantuan sosial. "Selama dua dekade terakhir istilah anak cacat telah digantikan dengan istilah anak dengan kebutuhan kesehatan khusus," jelasnya.

Menurut Sunartini, istilah anak dengan kemampuan dan kebutuhan khusus sebagai pengganti istilah anak cacat. Ini dinilainya manusiawi, tapi di Indonesia belum disepakati. Karena itu perlu ditetapkan dalam peraturan perundangan agar dapat dimasukkan sebagai program yang diutamakan di berbagai departemen yang berkaitan. Namun dia mengakui, masalah anak dengan kebutuhan khusus di bidang kesehatan belum menjadi prioritas, masih kalah dengan penyakit infeksi dan berbagai keadaan kurang gizi.

Selain itu, ia menambahkan, sampai saat ini terjadi keterbatasan dan belum disediakannya fasilitas khusus seperti jalan yang bisa dilalui kursi roda, jalan yang aman bagi anak dengan palsi serebral, jalan yang dibuat khusus bagi anak tuna netra hingga bisa mandiri sampai tujuan. Penggunaan jalan seringkali menyebabkan kesulitan bagi anak berkebutuhan khusus. Demikian juga fasilitas kesehatan, masih sukar dicapai para penyandang cacat, di samping petugas kurang tanggap.

Sunartini mengatakan, menghadapi terjadinya anak berkebutuhan khusus karena penyimpangan perkembangan otak, langkah yang paling tepat adalah mengenali atau mendeteksi dini kelainan yang ada, baik oleh penolong persalinan, tenaga kesehatan, serta masyarakat, terutama orangtua dan keluarganya. Setelah itu, diikuti penanganan atau intervensi dini, baik secara promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif.

Banyak faktor penyebab gangguan pembentukan dan perkembangan otak anak sejak saat pembuahan, lahir, saat bayi, masa anak sampai remaja. Pada awal kehamilan terutama minggu kedua sampai keenambelas di saat pembentukan organ ada berbagai hal yang dapat menyebabkan pembentukan otak tidak sempurna atau rusak antara lain karena kekurangn gizi dan mikronutrien seperti iodium, zink, selenium, kekurangan asam folat, obat-obatan teratogenik seperti obat peluntur haid. Juga obat penenang seperti talidomid, keracunan logam berat seperti Hg atau Pb, infeksi intra uterin seperti TORCH dan kekerasan karena usaha pengguguran dengan pijatan.

Secara uji multivariat, bahan organik pada ibu hamil yang bekerja di pabrik menunjukkan adanya pengaruh kurang baik terhadap perkembangan motorik, tingkah laku, perhatian dan hiperaktivitas. Demikian halnya ibu yang mengalami depresi dalam periode satu tahun pertama dapat mengakibatkan gangguan perkembangan kognitif sampai umur 18 bulan gangguan tingkah laku, gangguan perkembangan sosial dan perilaku terutama pada anak laki-laki usia balita.nri/bur

TINGKATKAN SDM, TNI AL BUKA EMPAT PENDIDIKAN KHUSUS

TINGKATKAN SDM, TNI AL BUKA EMPAT PENDIDIKAN KHUSUS


Untuk meningkatkan kualitas dan keahlian sumber daya manusianya, TNI AL melalui Komando Pengembangan dan Pendidikan Angkatan Laut (Kobangdikal) membuka empat pendidikan kualifikasi khusus (Dikbrivet), Dikpaska, Diktaifib, Dikjursel dan Dikcawakasel yang dibuka secara resmi oleh Wakil Komandan Kobangdikal Brigjen TNI Marinir Halim A. Hermanto, di Lapangan Kihadjar Dewantara, Kobangdikal, Selasa (20/11).
Menurut Komandan Kobangdikal Laksda TNI Edhi Nuswantoro dalam amanatnya yang dibacakan Wadan Kobangdikal mengatakan, selain pengembangan organisasi, penambahan dan pemutakhiran teknologi alutsistanya, kemampuan prajurit yang handal juga menjadi prioritas utama, seperti halnya empat program pendidikan berkualifikasi khusus ini.
Dikaitkan dengan kondisi dan konstelasi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan dan lautnya yang terbuka, setengah terbuka dan tertutup, maka kehadiran naval power akan memberikan tiga keunggulan sekaligus, yaitu keunggulan sebagai unsur defensif yang mematikan, unsur ofensif yang efektif dan detterence factor yang baik, sehingga musuh akan takut dan mengurungkan niat jahatnya.
Menurutnya, strategi pertahanan negara kita harus mengedepankan strategi pertahananmaritim dengan memperhatikan kondisi geografis sebagai
negara kepulauan. Oleh karena itu,TNI AL harus mampu mewujudkan laut yang aman dan terkendali, yaitu kondisi laut yang bebas dari beberapa ancama, tegas Komandan Kobangdikal.
“sudah sepantasnya Indonesia mempunyai kekuatan Angkatan Laut setara Green Water Navy yaitu kekuatan yang dapat diandalkan untuk menegakkan stabilitas keamanan dan berkemampuan mengadakan perlawanan terhadap setiap ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan,” tegasnya.
Megenai pembukaan empat pendidikan brivet yang berada di bawah tanggungjawabnya, pendidikan Pasukan Katak yang kali ini diikuti 24 orang ini akan dilaksanakan selama 10 bulan dengan tujuan agar para siswa mampu melaksanakan tugas-tugas dalam operasi amfibi maupun tugas-tugas dalam peperangan khusus laut
Sementara itu 24 orang turut dalam pendidikan Calon Awak Kapal Selam yang akan digelar 9 bulan. Pendidikan Dikcawakasel bertujuan agar para siswa memiliki pengetahuan dan ketrampilan teknis kapal selam type 209 serta kecakapan khusus yang dapat ditugaskan sebagai pasukan bawah air.
Untuk Pendidikan Juru Selam yang diikuti 13 orang ini akan dilaksanakan selama 6 bulan dengan tujuan untuk mendidik para siswa menjadi juru selam TNI AL yang profesional guna mendukung kesiapan dan keselamatan bawah air khususnya KRI dalam suatu operasi di laut.
Pendidikan Intai Amfibi yang memiliki sisiwa terbayak dengan 61 siswa akan dilaksanakan selama 10 bulan. Diktaifib bertujuan agar para siswa menjadi prajurit taifib yang dapat melaksanakan tugas pengintaian dan penyelidikan dalam operasi amfibi dan operasi-operasi lain melalui darat, laut dan udara. (Pen Kobangdikal)

Komitmen Depdiknas terhadap Pendidikan Khusus


Baru Sentuh 21 Persen ABK

Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia cukup banyak. Sayang, hal tersebut belum diikuti ketersediaan sekolah yang cukup dan tenaga pendidik yang memadai. Bagaimana program pemerintah untuk mengangkat derajat pendidikan para ABK itu?



Hingga kini, masih terlihat kesenjangan antara pendidikan khusus dengan pendidikan reguler. Belum adanya pendataan yang akurat mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) oleh pemerintah merupakan salah satu bukti. Selama ini, untuk memprediksi jumlah ABK di Indonesia, pemerintah menggunakan data dari hasil sensus nasional atau prevalensi dari standar lain. implikasinya, pemerintah tidak dapat menyusun program layanan yang benar-benar akurat sesuai dengan karakteristik kebutuhan ABK itu sendiri.



Berdasar hasil analisa BPS (Badan Pusat Statistik) dan Depsos (Departemen Sosial) tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat umur 5-18 tahun (masuk kategori usia sekolah) diprediksi 21,42 persen dari seluruh penyandang cacat, atau 317.016 anak.



Sementara itu, berdasar data dari Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa), ABK yang sudah mendapat layanan pendidikan sebanyak 66.610 anak. Rinciannya, TKLB 8.011 anak, SDLB 44.849 anak, SMPLB 9.395 anak dan SMALB sebesar 4.395 anak. Dengan fenomena itu, dapat disimpulkan baru 21 persen ABK di Indonesia yang telah memperoleh layanan pendidikan.



Kenyataan itu diperparah dengan minimnya tenaga pendidik yang hanya berjumlah 10.338 orang. Jumlah tersebut disinyalir jauh dari kebutuhan. Apalagi, mainset guru kita sudah telanjur terpola secara dikotomi antara guru regular dan guru khusus.



Menurut Budiyanto, tim pengembang SDN Inklusi Ngasem 1 Surabaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), hak mendapat pendidikan merupakan hak semua anak bangsa. Itu sesuai UUD 1945 pasal 31 (1) dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas).



Pada pasal 32 ayat 1 disebutkan, pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan disik, emosional, mental, sosial dan memliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ada 12 jenis ABK. Yaitu, tunanetra (cacat penglihatan), tunarungu (cacat pendengaran), tuna grahita, tunadaksa (cacat tubuh), tunalaras (lambat belajar), tuna wicara (tidak dapat berbicara), tunaganda (korban penyalahgunaan narkoba), dan penyandang HIV/AIDS. Tuna Grahita dibagi menjadi tiga. Yaitu, tuna grahita ringan (anak yang memiliki IQ diantara 50-70), tuna gfrahita sedang (IQ: 25-50), dan tuna grahita berat (IQ dibawah 25).



Pada ayat 2 dijelaskan, pendidikan layanan khusus (PLK) merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang. "Termasuk yang mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.



Melihat fenomena yang cukup miris itu, Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa) tahun ini berkonsentrasi mendandani pendidikan khusus (PK). Salah satu langkah yang diupayakan ialah menyediakan anggaran sebesar 10 persen dari total anggaran pendidikan. Nilai anggaran itu berkisar Rp 365 miliar. "Nilai itu belum termasuk anggaran yang diprogramkan dari APBD masing-masing daerah tingkat kabupaten dan kota," ujar drg Sjatmiko dari direktorat PSLB Depdiknas dalam seminar Strategi Pengembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia yang diadakan Unesa, beberapa waktu lalu.



Persoalannya, kata Jatmiko, pada tataran realisasi, apakah semua daerah memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan? "Sebab, di era otonomi seperti sekarang, masing-masing daerah memiliki kewenangan sendiri-sendiri," ujarnya.



Di samping itu, untuk menambah SDM pendidik, pemerintah mulai menggandeng perguruan tinggi di seluruh tanah a

Warga yang Membutuhkan Pendidikan Khusus Diminta Melapor


JAKARTA - Warga yang membutuhkan layanan pendidikan khusus diminta melapor ke dinas pendidikan setempat atau langsung ke Departemen Pendidikan Nasional. Pemerintah, kata Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Ekodjatmiko Sukarso, akhir pekan lalu, akan membantu melalui subsidi biaya operasional pendidikan dan biaya alat keterampilan.
Besaran bantuan yang akan diberikan berkisar Rp 30-100 juta. Hingga kini ada 196 lembaga atau yayasan, 18 lembaga pemasyarakatan anak, dan 14 sekolah Indonesia di luar negeri yang menjadi penyelenggara pendidikan layanan khusus yang terdaftar dan mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Penyelenggaraan pendidikan ini disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat. Eko mencontohkan pendidikan layanan khusus untuk anak-anak di daerah transmigrasi di Sumatera Barat, untuk anak-anak jalanan di Jakarta Selatan, dan anak-anak suku pedalaman di Mentawai.
Salah satu sekolah pendidikan layanan khusus di Jakarta yang dikunjungi Tempo adalah di Perkampungan Nelayan Blok Empang, Kampung Baru, Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Pendidikan yang dikelola Yayasan Lentera Bangsa ini mulai dirintis pada 2003, tapi baru aktif pada 2005.
Sekolah yang dibangun tepat di atas empang ini berukuran 6 x 12 meter, beralas kayu, dan beratapkan tripleks. Sekolah dibangun semipermanen dengan bahan baku bambu dan kayu. Di sekolah ini tidak ada jendela sehingga angin bebas masuk dari sela dinding bambu yang tak rapat. Di sana juga tidak ada kursi dan meja seperti sekolah pada umumnya. Sekolah ini dibangun dengan subsidi Rp 60 juta dari pemerintah.
Sekolah ini sebenarnya memiliki sekitar 300 siswa, tapi hanya 180 orang yang aktif. Siswa berbaju warna-warni dan tanpa alas kaki belajar di ruangan yang dibagi menjadi dua bagian sama besar. Karena luasnya yang tidak memadai, siswa di satu kelas harus belajar sambil memunggungi kawan di kelas lainnya.
Pendidikan layanan khusus yang digelar mulai tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas ini gratis. Seluruh kebutuhan siswa, termasuk buku sekolah dan alat tulis, disediakan yayasan. Sekolah hanya tidak menyediakan seragam.
Kepala Sekolah Sobirin menyatakan orang tua siswa kebanyakan berprofesi sebagai nelayan, buruh angkut, buruh lelang, pemungut ikan, dan pemulung. "Kalau Jumat, Sabtu dan hujan, biasanya hanya beberapa anak yang masuk," katanya.
M. Khairun, salah satu siswa kelas II, mengatakan proses belajar di sana menyenangkan. "Gurunya baik walaupun sekolahnya cuma seperti ini," kata anak 10 tahun itu. Ia sekolah karena tidak ingin menjadi buruh angkut seperti ayahnya. "Saya mau jadi pemain bola." REH ATEMALEM SUSANTI

Pencari Bakat Anak Berkebutuhan Khusus

Tidak ada kesejarahan yang menyebabkan keterlibatannya dengan dunia orang-orang berkebutuhan khusus, kecuali latar belakang kuliahnya di IKIP Yogyakarta, Jurusan Pendidikan Luar Biasa. Tidak banyak pula orang yang berusaha menampilkan orang-orang berkemampuan khusus ini secara massal dalam sebuah gerakan.
Orang yang melibatkan diri dalam dunia orang-orang berkebutuhan khusus dalam satu kehebohan massal itu adalah Ciptono.Kehebohan terjadi pada suatu hari di tahun 2002. Pada hari itu, jalan-jalan protokol Kota Semarang dipadati arak-arakan mereka yang berkebutuhan khusus, mulai dari tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan tunagrahita. Mereka berjalan perlahan, merayap di atas kursi roda bersama orangtua dan guru-guru sekolah luar biasa. Hari itu sekan-akan menjadi "hari mereka yang berkebutuhan khusus"."Tujuan saya mengadakan acara bagi mereka yang berkebutuhan khusus itu tidak lain untuk mencari bakat-bakat terpendam yang ada pada diri mereka. Ternyata saya memang bisa menemukan bakat-bakat mereka," kata Ciptono.Dia mengenang kiprahnya di balik penyelenggaraan acara bertajuk "Lomba Jalan Sehat Keluarga Pendidikan Luar Biasa" itu.Pria kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, ini ditemui di Jakarta pekan lalu seusai menerima penghargaan ISO 2009 di Lampung.Ciptono lalu menjelaskan latar belakang diadakannya acara jalan sehat itu. Acara tersebut diselenggarakan agar para siswa berkebutuhan khusus bisa tampil lebih percaya diri di tengah masyarakat. Prinsipnya, kata Ciptono, ?Mereka (berkebutuhan khusus) tidak perlu dikasihani, tetapi harus diberi kesempatan.?Maka, acara itu kemudian digunakan sebagai kesempatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk menampilkan kemampuannya, di bidang seni maupun keterampilan.Dari acara terbesar pertama di Semarang bagi mereka dengan kebutuhan khusus ini ditemukanlah Delly Meladi, penyandang tunanetra bersuara merdu yang mampu menghafal lebih dari 1.000 lagu. Penyandang tunanetra lainnya, Mega Putri, ditemukan sebagai pembaca puisi. Ada lagi Bambang Muri, penyandang tunagrahita, yang sama seperti Delly pandai bernyanyi.Ciptono tidak menyangka bahwa kegiatan jalan sehat itu telah melahirkan efek domino yang baik bagi perubahan mereka dengan kebutuhan khusus. Selain bisa muncul dari panggung ke panggung, suara mereka juga direkam dalam bentuk kaset atau video compact disc (VCD).Sampai sekarang Ciptono telah menghasilkan lima VCD dan satu kaset. Salah satunya adalah VCD yang dikeluarkan Badan Koordinasi Pendidikan Luar Biasa Jawa Tengah berlabel Keplok Ora Tombok (ikut bersenang-senang tanpa membayar).VCD itu menampilkan Delly, Mega, dan Bambang. Penari latar yang mengiringi ketiga penyanyi itu pun berasal dari siswa-siswi SMALB C/D1 YPAC Semarang."Pokoknya semua yang terlibat di dalamnya adalah anak-anak berkebutuhan khusus," kata Ciptono.Orangtua mampuSetelah lulus dari Universitas Negeri Yogyakarta (dulu bernama IKIP Yogyakarta) tahun 1987, Ciptono langsung mengajar di SLB Wantu Wirawan Salatiga dengan gaji Rp 5.000 per bulan plus Rp 700 untuk uang transpor.Dia berkisah, uang sebesar itu habis dalam waktu lima hari saja. Untunglah, karena orangtuanya terbilang mampu, ongkos transportasi sehari-hari ditanggung ayahnya, Jayin Hartowiyono. Sementara sang ibu, Suntianah, menyerahkan semua keputusan untuk tetap mengajar di SLB kepada Ciptono.Dia mengaku, jiwa sosial untuk menolong anak-anak berkebutuhan khusus itu muncul sejak lulus SMA tahun 1982."Maunya lulus Fakultas Kedokteran UGM karena saya bercita-cita menjadi dokter. Tetapi, karena diterimanya di IKIP Jurusan Pendidikan Luar Biasa, ya saya harus mengajar di SLB,? katanya.Meski orangtuanya cukup berada karena memiliki armada bus Gotong Royong dan Hidayah di kota kelahirannya, Salatiga, saat masih kanak-kanak Ciptono dititipkan kepada neneknya dengan pendidikan ?keras?. Ia mengaku, neneknyalah yang mendidiknya untuk mencintai sesama, khususnya mereka yang tidak mampu dan berkekurangan."Boleh dibilang saya dilatih (Nenek) untuk tidak tegaan," katanya.Tahun 1989 ia mengajar Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa dan dasar-dasar pendidikan luar biasa di pendidikan guru agama negeri. Pada tahun itu juga ia menjadi calon pegawai negeri sipil SLB C YPAC Semarang. Dari keseringannya bergaul dengan mereka yang berkebutuhan khusus, Ciptono mulai menemukan kenyataan bahwa di antara anak-anak itu ada yang memiliki bakat khusus.Misalnya, ia menemukan Andi Wibowo, penyandang tunagrahita yang mampu menggambar dengan menggunakan dua tangan secara bersamaan. Andi ?hanya? memiliki IQ 60, di mana umumnya, menurut Ciptono, anak-anak itu ber-IQ 90.Untuk memunculkan anak-anak berkebutuhan khusus yang punya kemampuan khusus, ada saja acara yang dia ciptakan setiap tahun, mulai dari donor darah, halalbihalal, sampai merayakan Natal. Semua acara itu selalu melibatkan siswa-siswi berkebutuhan khusus. Sampai-sampai saat mereka tampil di sebuah mal pada 19 Desember 2008, banyak orang tidak percaya bahwa itu suara asli mereka yang berkebutuhan khusus.?Mereka tahunya itu suara pura-pura atau tiruan, bukan suara mereka yang sebenarnya. Padahal, itu asli suara mereka dengan kebutuhan khusus, mulai dari tingkat SD sampai SMA,? tutur Ciptono.Tujuh rekorAtas prestasinya memberdayakan anak-anak berkebutuhan khusus, Ciptono yang pada 2003 menyabet juara I Lomba Mengarang dan Pidato Antarguru SLB se-Jawa Tengah itu mendapat berbagai penghargaan dari dinas pendidikan sampai Departemen Pendidikan Nasional.Ia juga memperoleh tujuh rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) atas kepeduliannya kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Penghargaan lainnya adalah sebagai guru SLB berdedikasi tinggi dari dinas pendidikan setempat pada tahun 2003. Tahun 2005 ia menerima penghargaan sebagai guru berdedikasi tinggi dari Mendiknas Bambang Sudibyo, dan tahun 2006 menjadi juara guru kreatif.Agustus 2008 Ciptono menyabet juara pertama lomba manajemen pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus tingkat nasional."Saya mendapat hadiah Rp 10 juta dari Gubernur Jawa Tengah atas prestasi ini," kata Ciptono yang tiga kali mendirikan SLB, yakni SLB Hajjah Sumiati, SD Bina Harapan, dan belakangan ini ia membuka sekolah di garasi untuk anak-anak berkemampuan khusus.Jabatan formal Ciptono adalah Kepala Sekolah SLBN Semarang yang membawahkan 60 karyawan dan guru. Sepuluh di antaranya sudah menjadi pegawai negeri sipil, sedangkan selebihnya masih sebagai tenaga honorer.Uniknya, 20 persen karyawannya itu haruslah dari anak-anak berkebutuhan khusus. Sekarang ini, misalnya, dikaryakan dua penyandang tunadaksa, dua penyandang tunarungu, dan satu penyandang tunanetra."Asisten guru pun diangkat dari anak-anak berkebutuhan khusus ini," kata Ciptono menambahkan

IIQ Utamakan Pendidikan Khusus Wanita


BERTEPATAN dengan Hari Ibu, tanggal 22 Desember 2008, civitas Institut Ilmu Al-Qur\'an (IIQ) mendapat anugerah besar bahwa di Kampus II Terpadu IIQ Pamulang dilakukan peletakan batu pertama pembangunan Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa). Untuk mengetahui sejauh mana pembangunan Rusunawa dan kaitannya dengan pendidikan tinggi khusus wanita ini, wartawan Pelita mewawancarai Ketua Umum Yayasan IIQ, Hj Harwini Joesoef. Peletakan batu pertama pembangunan Rusunawa IIQ bertepatan dengan Hari Ibu, bisa Ibu jelaskan?Perlu diketahui bahwa Institut Ilmu Al-Qur\'an sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi yang takhassus membidangi Al-Qur\'an dan ilmu-ilmu Al-Qur\'an lainnya, dari sejak awal berdirinya memang berkomitmen mengutamakan kepentingan pendidikan wanita. Karena menurut pandangan kami bahwa wanita merupakan pendidik utama dan tiang pembangunan yang kuat dan kokoh baik bagi kepentingan pembangunan di lingkungan keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negara. Untuk itu, sangat wajar jika peletakan batu pertama pembangunan Rusunawa di Kampus IIQ ini bertepatan dengan Hari Ibu, tanggal 22 Desember. Saya sebagai wanita pun menyadari, perjuangan membekali kaum wanita, khususnya di bidang ke-Qur\'an-an tidak mudah. Dituntut keridhaan dan keikhlasan. Begitu juga mahasiswi IIQ dituntut selain dapat membaca Al-Qur\'an dengan baik dan tartil serta menghafal Al-Quran, mereka juga mengetahui makna yang terkandung dalam ayat-ayat suci Al-Quran. Bagaimana tanggapan Ibu tentang dibangunnya Rusunawa ini? Tentunya bagi kami, khususnya civitas akademika IIQ sangat gembira dan bangga memiliki Rusunawa. Rusunawa ini sangat berarti dan pembangunannya sudah lama dinanti-nantikan oleh para wanita penghafal Al-Qur\'an, khususnya di lingkungan Kampus IIQ. Menghafal Al-Qur\'an di tempat yang tenang, baik dan rapi juga akan menambah kenyamanan bagi anak-anak untuk terus meningkatkan kualitas mereka. Pembangunan Rusunawa berkapasitas 400 orang itu seluruhnya ditanggung oleh Menpera. Kami hanya menyediakan lahan seluas 1.000 m2, mengurus IMB, izin tata ruang, dan mebel, seperti meja, kursi, lemari, dan lain-lain. Pembangunan Rusunawa tersebut akan selesai dalam waktu empat bulan.IIQ, Sabtu (27/12) besok mewisuda lulusannya, bisa Ibu jelaskan?Ya, kami akan mewisuda lulusan IIQ Jakarta baik S-1 maupun S-2. Jumlahnya sekitar 150 orang di Wisma Syahida Universitas Islam Negeri (UIN) Ciputat. Diharapkan dalam wisuda tersebut hadir Menteri Agama H Muhammad Maftuh Basyuni, Gubernur DKI Jakarta H Fauzi Bowo, Dewan Penyantun IIQ seperti H Try Sutrisno, H Muhammad Sudomo, RS Museno, Rektor IIQ Dr KH Ahsin Sakho, dan Sekretaris Umum Yayasan IIQ H Azhari Baedlawie, MM. Apa harapan Ibu ke depan?Kami berharap tetap dapat berkiprah di Yayasan IIQ dan selalu turun memantau keberadaan IIQ yang memang sejak didirikannya bertujuan membina para wanita muslimah dan berusaha mencetak ulama yang hafal dan menguasai ilmu-ilmu Al-Qur\'an, memiliki wawasan luas, berakhlak mulia, dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan umat dan masa depan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kami pun sangat menyadari bahwa proses untuk mencapai tujuan pendidikan yang dimaksud, kiranya bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Untuk itu, tentu membutuhkan tekad dan upaya yang kuat, disertai dengan keikhlasan, kedisiplinan, dan sikap konsisten dalam perjuangan. (sidik m nasir)

Seminar Deteksi dan Pendidikan Anak Cerdas Istimewa dan Berbakat Istimewa

(Medicastore) Sabtu, 3 Maret 2007 lalu bertempat di Auditorium Indosat, Jakarta, diselenggarakan Seminar Deteksi dan Pendidikan Anak Cerdas Istimewa dan Berbakat Istimewa (gifted & talented children). Selain seminar, diadakan juga peresmian Forum Komunikasi Gifted & Talented Children Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa (PSLB) dan peluncuran buku tentang anak berbakat dengan disinkronitas perkembangan “Anakku Terlambat Bicara, Memahami dan Mengasuhnya” oleh DR. Julia Maria Van Tiel.

Pembicara dalam seminar ini, antara lain:

  1. Adi D Adinugroho, MA, Ph.D candidate, Special Education Specialist, Purdue University, USA.
  2. Dr. Soejatmiko, Sp.A, M.Si, Kepala Divisi Tumbuh Kembang Anak RSCM/FKUI & Ikatan Dokter Anak Indonesia.
  3. Dr. Indah S Widyahening Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
  4. DR. Julia Maria Van Tiel, Pembina kelompok diskusi orangtua anak berbakat, anakberbakat@yahoogroups.com.


Dan sebagai moderator yaitu dr. Bayu Prawira-Hie.

ki-ka: dr. Soejatmiko; dr. Bayu; Dr. Rachmat; Adi Nugroho, MA.

Seminar yang dihadiri lebih dari 150 peserta yang terdiri dari orang tua, guru, dokter, dan pemerhati masalah anak gifted-talented ini mengundang Direktur PSLB Mandikdasmen Depdiknas RI yang diwakili oleh Drs. Sutji Harijanto, MM, MPd yaitu Kasubdit Pelaksana Kurikulum Direktorat Pembangunan Sekolah Luar Biasa Mandikdasmen RI.

Drs. Sutji mengatakan bahwa warga negara yang memiliki kemampuan berkecerdasan istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus yang disesuaikan dengan tingkat kesulitan dalam proses pembelajaran yang berbeda dari pendidikan normal.

Hal ini telah dituangkan dalam Sisdiknas No. 2 tahun 1999 yang diimplementasikan berupa program akselerasi percepatan belajar untuk yang berkemampuan kecerdassan istimewa . Bahkan saat ini sudah terdaftar 54 sekolah yang memiliki program akselerasi.

Menurut Dr. Adi D Adinugroho, definisi gifted talented (GT) bisa berupa anak cerdas berbakat atau anak luar biasa yang disebabkan unsur genetik, dan adanya ketidakseimbangan pertumbuhan meskipun memiliki IQ tinggi.

Namun, saat ini terjadi perubahan paradigma dari profil GT yang sudah tertanam di masyarakat. Hal ini dikarenakan tingginya angka drop out anak GT di sekolah, banyaknya problema baik akademik, sosial, emosi maupun perilaku pada anak-anak GT.

Selain itu, anak GT juga telat bicara, tidak harus bisa membaca, cenderung emosional meskipun memiliki daya analisis yang kuat. Karena tidak dimengerti oleh sekolah, anak-anak GT dimasukkan ke kelas emotional behavior.

Dunia pengetahuan baru mengetahui 5% tentang dunia GT. Di Amerika, tidak dilakukan tes untuk mendeteksi bakat pada anak di bawah umur 6 tahun karena mungkin bisa terjadi dual condition misalnya gifted dan ADHD (attention deficit- hyperactivity disorder) sekaligus.

“Di Indonesia, seorang dokter cepat sekali memvonis anak menderita autisme hanya dalam waktu beberapa menit, maksimal 45 menit,” ungkap Dr. Adi. Padahal untuk bisa menentukan seorang anak autis atau tidak membutuhkan tes selama 2 minggu.

Pendeteksian GT di Amerika, meliputi pemantauan tumbuh kembang, formal referral, assessment, pelayanan berfokus preventif, pelayanan pendidikan khusus, dilakukan sealami mungkin sesuai dengan tempat anak hidup kemudian transisi ke dunia sekolah.

Sistem pendidikan yang tersedia untuk anak GT di Amerika berupa sekolah khusus, percepatan kurikulum, dan percepatan kelas. Untuk model pelayanan yang disediakan berupa kelas khusus, kelas inklusi penuh dan kelas inklusi tidak penuh.

Keberbakatan pada anak perlu dideteksi dan diintervensi secara dini menurut Dr. Soejatmiko, Sp.A(K), M.Si. Hal ini dikarenakan kualitas generasi penerus tergantung kualitas tumbuh kembang anak terutama batita (bayi 0-3tahun). Bila deteksi terlambat, maka penanganan terlambat dan penyimpangan sukar diperbaiki.

Dokter spesialis tumbuh kembang berperan dalam deteksi penyimpangan pertumbuhan, perkembangan dan perilaku anak. Namun, dari 2000 dokter spesialis anak di Indonesia, spesialis tumbuh kembang anak hanya 30 orang.

Meskipun demikian, tugas dokter spesialis tumbuh kembang dalam mengawasi pertumbuhan dan perkembangan anak dapat dilakukan oleh bidan, perawat, dokter spesialis anak maupun dokter umum di puskesmas.

“Stimulasi pada anak itu penting agar tumbuh kembangnya optimal,” ujar Dr. Soejatmiko. Caranya mudah misalnya sambil menyusui, anak diajak bicara, ditatap matanya, disentuh dan diayun, sehingga sinaps menjadi semakin kuat yang kemudian merangsang kecerdasan lebih luas dan tinggi. Cara lain yaitu dengan mendongeng sebelum anak tidur agar imajinasi anak berkembang.

Ada 4 cara skrining deteksi dini penyimpangan perkembangan, yaitu:

  1. Tanya perkembangan anak dengan KPSP (kuesioner pra skrining perkembangan) mulai umur 3 bulan.
  2. Tanya pendengaran anak dengan TDD (tes daya ingat) mulai umur 3 bulan.
  3. Tes penglihatan anak dengan TDL (tes daya lihat).
  4. Tanya gangguan perilaku dengan KMME (kuesioner masalah mental emosional), CHAT (checklist autisme in Toddler) dan Conners untuk gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas.

Peran lain yang diemban oleh dokter spesialis anak tumbuh kembang adalah menjadi konsultan/trainer skrining untuk perawat, bidan, dokter umum, dokter spesialis anak lain. Kemudian dokter tumbuh kembang melakukan skrining lanjutan seperti ASQ (age & stages questionare), Denver II, BINS, Bayley III scale for infant and Todler.

“Sukar mengukur keberbakatan pada anak dengan keterlambatan perkembangan, “ ungkap Dr. Soejatmiko. Umumnya keterlambatan perkembangan dan gangguan perilaku yang terdiagnosis. Diperlukan kesepakatan assessmen multiprofesi dalam mendeteksi keberbakatan dengan disinkroni.

Pola pengasuhan orangtua/keluarga terhadap keberbakatan dengan disinkroni memerlukan pelatihan khusus. Demikian juga dengan metode pendidikan yang khusus lengkap dengan pendidik yang telah mendapatkan pendidikan khusus. Dr. Soejatmiko mengusulkan agar dibuat kelas tanpa label tertentu di SLB.

DR. Julia Maria Van Tiel menceritakan pengalamannya mengasuh dan pendidikan anak berkhususan dengan disinkronitas perkembangan di Belanda. Belanda adalah salah satu negara di Eropa yang mempioniri pendekatan pendidikan anak-anak gifted yang mempunyai masalah dalam perkembangan, perilaku, sosial emosional, prestasi rendah serta masalah yang berkaitan dengan gangguan belajar.

“Sangat sulit untuk membedakan gifted yang plus dengan yang mengalami maturity delayed seperti keterlambatan bicara ,” ungkap DR Julia. Hal yang khas adalah terjadinya lompatan perkembangan seperti motoriknya sangat cepat. Anak tidak melalui fase merangkak tapi langsung bisa lari. Di Belanda disebut lompatan perkembangan yang mengalami disinkronitas dan overexitibility.

Sensorynya juga terlalu kuat atau sensitif, misalnya label baju harus dipotong karena mengganggu. Semakin tinggi intelegensinya, risiko anak bermasalah juga semakin tinggi, tambah DR. Julia.

Dalam menanganinya tidak bisa hanya satu profesi misal dokter, psikolog, psikiater, atau pedagog saja melainkan harus multiprofesi dengan melibatkan orang tua. Dibutuhkan pilar penunjang yaitu dokter tumbuh kembang dan dokter sekolah.

Dokter sekolah bukan dokter yang berpraktek di sekolah tetapi dokter yang membawahi beberapa sekolah dan bertanggung jawab terhadap kesehatan dan tumbuh kembang anak-anak sekolah mulai taman kanak-kanak hingga sekolah lanjutan.

Di Belanda ada lembaga bantuan pedagogi psikologi (psychoeducational assessment center) yang berfungsi menilai karakteristik anak dalam menerima pembelajaran karena ada cara mengajar khusus untuk anak yang bersifat visual spatial learner. Psychoeducational assessment center juga memberikan bimbingan kepada guru kelas, orang tua dan murid.

Lembaga ini merupakan lembaga yang sangat penting dalam sistem pelayanan pendidikan yang akan senantiasa membimbing orang tua dalam rangka pengasuhan di rumah, membimbing guru kelas dalam rangka strategi pendidikannya di dalam kelas. ”Oleh karena itu, masyarakat di Indonesia perlu menuntut pemerintah agar lembaga tersebut ada di Indonesia,” kata DR. Julia.

“Berbagai masalah perilaku pada anak seringkali teridentifikasi setelah anak tersebut mulai mengikuti kegiatan di sekolah,” ungkap Dr. Indah S Widyahening. Sekitar 20% anak usia sekolah mengalami gangguan perilaku dan setengahnya berupa gangguan dalam pemusatan perhatian atau hiperaktivitas.

Untuk dapat mencapai kemampuan akademik yang baik di sekolah seorang anak perlu memiliki kesiapan bersekolah yang meliputi beberapa aspek yaitu kesehatan dan kesejahteraan fisik, kompetensi sosial, kematangan emosi, perkembangan bahasa dan kognitif, serta kemampuan berkomunikasi dan pengetahuan umum.

Seorang dokter sebagai penyedia layanan kesehatan bersama-sama dengan berbagai pihak terkait lainnya memegang peranan penting dalam membantu seorang anak mencapai kesiapan bersekolah.

Semakin meningkatnya jumlah anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan dan perilaku yang dapat menghambat pembelajaran di sekolah memerlukan adanya tenaga dokter yang khusus menangani hal tersebut yaitu dokter sekolah.

Untuk deteksi dan pendidikan anak cerdas istimewa dan berbakat istimewa (gifted & talented children) di Indonesia dibutuhkan kerjasama multidisiplin dan juga dari pemerintah termasuk Departemen Pendidikan dan Departemen Kesehatan.

Seminar ini menekankan pentingnya anak cerdas istimewa dan berbakat istimewa dapat dideteksi lebih dini sehingga dapat cepat ditangani. Hal yang krusial lainnya adalah seringnya anak-anak tersebut ditolak di sekolah “normal”. Padahal sudah merupakan hak setiap warga negara untuk dapat mengenyam pendidikan di negara tercinta ini.

Semoga ada harapan bagi anak cerdas istimewa dan berbakat istimewa untuk mendapat tempat di sistem pendidikan di Indonesia.

Kurikulum Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Lebih Kompleks

Jakarta, Kompas - Begitu standar isi dan standar kompetensi dikembangkan dalam kurikulum baru kelak, serta-merta terbentang berlapis tantangan di depan para pemangku kepentingan pendidikan. Sesuai tuntutan peningkatan mutu pendidikan, implikasi pengembangan kurikulum tersebut harus dibarengi pemenuhan komponen pendukung yang terstandar pula, mencakup infrastruktur persekolahan, pendidik, hingga proses.

Kalau selama ini jenjang dan satuan pendidikan untuk peserta didik yang normal saja belum semuanya terpenuhi secara terstandar, maka tantangan untuk pendidikan bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus jauh lebih kompleks lagi, ujar Fauzia Aswin Hadis, anggota Badan Standar Nasional Pendidikan, Rabu (15/2), di Jakarta.

Fauzia menguraikan, sasaran pendidikan khususselama ini disebut pendidikan luar biasa tak hanya anak-anak cacat, tetapi juga anak-anak jenius atau berpotensi akademik istimewa. Karena itu, perlu perhatian ekstra untuk menanganinya.

Ia menegaskan, langkah awal strategis adalah mengembangkan paradigma baru sesuai UU Sistem Pendidikan Nasional. Terminologi pendidikan luar biasa harus diganti jadi pendidikan khusus. Standar isi, standar kompetensi, dan standar-standar pendukung lainnya pun perlu disesuaikan dengan kondisi peserta didik.

Ia mencontohkan, terhadap anak yang memiliki keterbatasan fisik—seperti kelemahan indera pendengaran, penglihatan, dan kekurangan anggota tubuh— tetap perlu diberi muatan akademis yang memungkinkan mereka berinklusi dengan peserta didik yang normal.

Secara umum, bekal kompetensi anak-anak berkebutuhan khusus perlu diberi muatan kejuruan, agar kelak bisa memiliki kecakapan hidup mandiri tanpa bergantung pada orang lain.

Direktur Pendidikan Luar Biasa Depdiknas Ekodjatmiko Sukarso berkomentar, untuk menuju paradigma baru, implikasi kurikulum di pendidikan khusus tak hanya cukup tertuang dalam standar-standar rumusan BSNP.

Itu semua harus dikuatkan pada rencana strategis Departemen Pendidikan Nasional dalam konteks pemerataan akses-mutu pendidikan serta kemandirian lulusan, ujarnya. (NAR)

PENDIDIKAN INKLUSIF

PENDIDIKAN INKLUSIF
1. Pengertian pendidikan inklusif
Pendidikan inklusif adalah pendidikan reguler yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa pada sekolah regular dalam satu kesatuan yang sistemik. Pendidikan inklusif adalah pendidikan di sekolah biasa yang mengakomodasi semua anak berkebutuhan khusus yang mempunyai IQ normal diperuntukan bagi yang memiliki kelainan (intelectual challenge), bakat istimewa, kecerdasan istimewa dan atau yang memerlukan pendidikan layanan khusus.
2. Perbedaan pendidikan inklusif dengan pendidikan pada umumnya.
Pendidikan pada umumnya adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengem¬bangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pada umumnya peserta didik dalam pendidikan umum/pendidikan reguler adalah peserta didik normal, sehingga kurikulum, tenaga guru, sarana dan prasarana, lingkungan belajar dan proses pembelajarannya dirancang untuk anak normal. Hal ini karena asumsi yang melandasi adalah bahwa peserta didik memiliki kemampuan yang homogin. Sebaliknya pada pendidikan inklusif peserta didiknya adalah peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang ada di sekolah reguler. Sehingga kurikulum, tenaga guru, sarana dan prasarana, lingkungan belajar dan proses pembelajarannya harus dirancang sedemikian rupa untuk memungkinkan semua peserta didik dapat mengembangkan potensinya.
3. Pendidikan terpadu dan pendidikan inklusif.
Pendidikan terpadu merupakan pendidikan yang memberi kesempat¬an kepada peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Perbedaan yang menonjol antara pendidikan terpadu dengan pendidikan inklusif terletak pada sistem pendidikan yang ada di sekolah tersebut. Sekolah terpadu, peserta didiknya mengikuti sistem yang ada di sekolah reguler. Sedangkan pendidikan inklusif, sistem pendidikan yang digunakan menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didiknya.
4. Latarbelakang perlunya pendidikan inklusif
Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab IV pasal 5 ayat 1 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Warganegara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.
Selama ini, pendidikan bagi anak yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa atau anak berkebutuhan khusus (ALB) disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak berkebutuhan khusus dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis anak berkebutuhan khusus, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda.
Sementara itu, pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang juga menampung anak berkebutuhan khusus, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak tunanetra, itupun perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang keberatan menerima anak berkebutuhan khusus. Di samping itu keberadaan sekolah khusus lokasinya sebagian besar berada di Ibu Kota Kabupaten, padahal anak-anak berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa). Akibatnya, sebagian anak-anak berkebutuhan khusus, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan di atas apabila dibiarkan akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar. Akibat lebih lanjut, mutu sumber daya manusia (SDM) akan semakin tertinggal.
Dalam rangka mewujudkan wajib belajar pendidikan dasar dan mengatasi permasalahan pendidikan anak berkebutuhan khusus, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak-anak berkebutuhan khusus, baik yang telah memasuki sekolah umum (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun anak-anak berkebutuhan khusus yang belum sempat mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.
Melalui pendidikan inklusif, anak berkebutuhan khusus dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki anak melalui pendidikan di sekolah terdekat. Sudah barang tentu sekolah terdekat tersebut perlu dipersiapkan segala sesuatunya.
5. Landasan Pendidikan Inklusif
Penyelenggaraan sekolah inklusi bagi peserta didik berkebutuhan khusus secara yuridis memiliki landasan yang kuat, diantaranya:
(1) UUD 1945 (amandemen) pasal 31 ayat 1: “setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan”.
(2) UU No. 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional, pasal 3 menyatakan bahwa ” pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Pasal 5 ayat 2 menyatakan bahwa ” warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”. Pasal 32 menyebutkan ”penidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa” .
(3) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak,
(4) UU No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat,
(5) PP No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan,
(6) Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380 /C.66/MN/2003, 20 Januari 2003 perihal Pendidikan Inklusi bahwa di setiap Kabupaten/ Kota di seluruh Indonesia sekurang kurangnya harus ada 4 sekolah penyelenggara inklusi yaitu di jenjang SD, SMP, SMA dan SMK masing-masing minimal satu sekolah,
(7) Deklarasi Bandung tanggal 8-14 Agustus 2004 tentang ”Indonesia menuju Pendidikan Inklusi”,
(8) Deklarasi Bukittinggi tahun 2005 tentang ” ”Pendidikan untuk semua” yang antara lain menyebutkjan bahwa ”penyelenggaraan dan pengembangan pengelolaan pendidikan inklusi ditunjang kerjasama yang sinergis dan produktif antara pemerintah, institusi pendidikan, istitusi terkait, dunia usaha dan industri, orangtua dan masyarakat”.
Berdasarkan landasan yuridis yang sebagian telah disebutkan di atas, menunjukkan bahwa pendidikan inklusi perlu diselenggarakan yang implemetasinya memerlukan kesungguhan dan komitmen dari berbagai pihak.
6. Model pendidikan inklusif
Telah disinggung pada uraian di muka bahwa pendidikan inklusif merupakan model pendidikan anak berkebutuhan khusus yang terkini. Sejak digulirkannya konsep mainstreaming dalam pendidikan khusus, ada upaya kuat melaksanakan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus secara terpadu, bahkan terpadu penuh (inklusif), dengan anak normal di sekolah biasa.
Model pendidikan inklusif semakin meluas pengkajiannya sejak ada pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan khusus bulan Juni 1994 bahwa “prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah: selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.”
Perkembangan pendidikan inklusif mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah iinklusif adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa. Di samping itu ada pula bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Bahkan sekolah inklusif juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima menjadi bagian dari kelas tersebut dan saling membantu baik dari guru, teman sebaya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individual anak berkelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa dapat terpenuhi.
Staub dan Peck (1995) (dalam Sunardi, 2002) mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkebutuhan khusus tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkebutuhan khusus, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya.
Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) (dalam Sunardi, 2002) menyatakan bahwa pendidikan inklusif sebagai system layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Konsekuensinya antara lain ditekankan adanya restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.
Benang merah yang dapat ditarik dari adanya variasi pendapat para ahli diantaranya adalah bahwa melalui pendidikan inklusif, anak berkebutuhan khusus dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki.
Vaughn, Bos, dan Schumm (2000), mengatakan bahwa dalam praktik, istilah inklusif sering dipakai bergantian dengan istilah mainstreaming, yang secara teori diartikan sebagai penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak berkebutuhan khusus sesuai dengan kebutuhan individualnya.
7. Penatalaksanaan Pendidikan Inklusif di sekolah
Salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusif adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsive terhadap kebutuhan individual siswa.

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2006

TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 22 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR ISI UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR KOMPETENSI LULUSAN UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL, Menimbang : bahwa agar Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dapat dilaksanakan di satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah secara baik, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
2
3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tatakerja Kementrian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005; 4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; 5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; 6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 22 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR ISI UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR KOMPETENSI LULUSAN UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH. Pasal 1 (1) Satuan pendidikan dasar dan menengah mengembangkan dan menetapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah sesuai kebutuhan satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan pada : a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 36 sampai dengan Pasal 38; b. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 5 sampai dengan Pasal 18, dan Pasal 25 sampai dengan Pasal 27; c. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;
3
d. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. (2) Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat mengembangkan kurikulum dengan standar yang lebih tinggi dari Standar Isi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Standar Kompentesi Lulusan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. (3) Pengembangan dan penetapan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah memperhatikan panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). (4) Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat mengadopsi atau mengadaptasi model kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun oleh BSNP. (5) Kurikulum satuan pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan dasar dan menengah setelah memperhatikan pertimbangan dari Komite Sekolah atau Komite Madrasah. Pasal 2 (1) Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat menerapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah mulai tahun ajaran 2006/2007. (2) Satuan pendidikan dasar dan menengah harus sudah mulai menerapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah paling lambat tahun ajaran 2009/2010. (3) Satuan pendidikan dasar dan menengah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang telah melaksanakan uji coba kurikulum 2004 secara menyeluruh dapat menerapkan secara menyeluruh Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk
4
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah untuk semua tingkatan kelasnya mulai tahun ajaran 2006/2007. (4) Satuan pendidikan dasar dan menengah yang belum melaksanakan uji coba kurikulum 2004, melaksanakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah secara bertahap dalam waktu paling lama 3 tahun, dengan tahapan : a. Untuk sekolah dasar (SD), madrasah ibtidaiyah (MI), dan sekolah dasar luar biasa (SDLB): - tahun I : kelas 1 dan 4; - tahun II : kelas 1,2,4, dan 5; - tahun III : kelas 1,2,3,4,5 dan 6. b. Untuk sekolah menengah pertama (SMP), madrasah tsanawiyah (MTs), sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), madrasah aliyah kejuruan (MAK), sekolah menengah pertama luar biasa (SMPLB), dan sekolah menengah atas luar biasa (SMALB) : - tahun I : kelas 1; - tahun II : kelas 1 dan 2; - tahun III : kelas 1,2, dan 3. (5) Penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan setelah mendapat izin Menteri Pendidikan Nasional. Pasal 3 (1) Gubernur dapat mengatur jadwal pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, untuk satuan pendidikan menengah dan satuan pendidikan khusus, disesuaikan dengan kondisi dan kesiapan satuan pendidikan di provinsi masing-masing. (2) Bupati/walikota dapat mengatur jadwal pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk
5
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, untuk satuan pendidikan dasar, disesuaikan dengan kondisi dan kesiapan satuan pendidikan di kabupaten/kota masing-masing. (3) Menteri Agama dapat mengatur jadwal pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, untuk satuan pendidikan madrasah ibtidaiyah (MI), madrasah tsanawiyah (MTs), madrasah aliyah (MA), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), disesuaikan dengan kondisi dan kesiapan satuan pendidikan yang bersangkutan. Pasal 4 (1) BSNP melakukan pemantauan perkembangan dan evaluasi pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, pada tingkat satuan pendidikan, secara nasional. (2) BSNP dapat mengajukan usul revisi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah sesuai dengan keperluan berdasarkan pemantauan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 5 Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah: a. menggandakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, serta mendistribusikannya kepada setiap satuan pendidikan secara nasional; b. melakukan usaha secara nasional agar sarana dan prasarana satuan pendidikan dasar dan menengah dapat mendukung penerapan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri
6
Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Pasal 6 Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan: a. melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dan panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun BSNP, terhadap guru, kepala sekolah, pengawas, dan tenaga kependidikan lainnya yang relevan melalui Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan/atau Pusat Pengembangan dan Penataran Guru (PPPG); b. melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dan panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun BSNP kepada dinas pendidikan provinsi, dinas pendidikan kabupaten/kota, dan dewan pendidikan; c. membantu pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam penjaminan mutu satuan pendidikan dasar dan menengah agar dapat memenuhi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, melalui LPMP. Pasal 7 Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional: a. mengembangkan model-model kurikulum sebagai masukan bagi BSNP; b. mengembangkan dan mengujicobakan model-model kurikulum inovatif; c. mengembangkan dan mengujicobakan model kurikulum untuk pendidikan layanan khusus; d. bekerjasama dengan perguruan tinggi dan/atau LPMP melakukan pendampingan satuan pendidikan dasar dan menengah dalam pengembangan kurikulum satuan pendidikan dasar dan menengah; e. memonitor secara nasional penerapan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk
7
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, mengevaluasinya, dan mengusulkan rekomendasi kebijakan kepada BSNP dan/atau Menteri; f. mengembangkan pangkalan data yang rinci tentang pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Pasal 8 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi: a. melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, di kalangan lembaga pendidikan tenaga keguruan (LPTK); b. memfasilitasi pengembangan kurikulum dan tenaga dosen LPTK yang mendukung pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Pasal 9 Sekretariat Jenderal melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, kepada pemangku kepentingan umum. Pasal 10 Departemen lain yang menyelenggarakan satuan pendidikan dasar dan menengah : a. melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah sesuai dengan kewenangannya dan berkoordinasi dengan Departemen Pendidikan Nasional; b. mengusahakan secara nasional sesuai dengan kewenangannya agar sarana, prasarana, dan sumber daya manusia satuan pendidikan yang
8
berada di bawah kewenangannya mendukung pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; c. melakukan supervisi, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah sesuai dengan kewenangannya. Pasal 11 Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan : a. Nomor 060/U/1993 tentang Kurikulum Pendidikan Dasar; b. Nomor 061/U/1993 tentang Kurikulum Sekolah Menengah Umum; c. Nomor 080/U/1993 tentang Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan; dan d. Nomor 0126/U/1994 tentang Kurikulum Pendidikan Luar Biasa; dinyatakan tidak berlaku bagi satuan pendidikan dasar dan menengah sejak satuan pendidikan dasar dan menengah yang bersangkutan melaksanakan Peraturan Menteri ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Pasal 12 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Juni 2006 MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL, TTD. BAMBANG SUDIBYO

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2007


TENTANG
STANDAR SARANA DAN PRASARANA
UNTUK SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH (SD/MI),
SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH
(SMP/MTs), DAN SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH
ALIYAH (SMA/MA)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 48
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Standar
Sarana dan Prasarana Untuk Sekolah Dasar/Madrasah
Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan
Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA);
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
2
3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan
Tatakerja Kementerian Negara Republik Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 62 Tahun 2005;
4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004
mengenai pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
TENTANG STANDAR SARANA DAN PRASARANA
UNTUK SEKOLAH DASAR/MADRASAH
IBTIDAIYAH (SD/MI), SEKOLAH MENENGAH
PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH (SMP/MTs),
DAN SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH
ALIYAH (SMA/MA).
Pasal 1
(1) Standar sarana dan prasarana untuk sekolah dasar/madrasah
ibtidaiyah (SD/MI), sekolah menengah pertama/madrasah
tsanawiyah (SMP/MTs), dan sekolah menengah atas/madrasah
aliyah (SMA/MA) mencakup kriteria minimum sarana dan kriteria
minimum prasarana.
(2) Standar Sarana dan Prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tercantum pada Lampiran Peraturan Menteri ini.
Pasal 2
Penyelenggaraan pendidikan bagi satu kelompok pemukiman permanen
dan terpencil yang penduduknya kurang dari 1000 (seribu) jiwa dan
yang tidak bisa dihubungkan dengan kelompok yang lain dalam jarak
tempuh 3 (tiga) kilo meter melalui lintasan jalan kaki yang tidak
membahayakan dapat menyimpangi standar sarana dan prasarana
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.
3
Pasal 3
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Juni 2007
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD
BAMBANG SUDIBYO
Salinan sesuai dengan aslinya.
Biro Hukum dan Organisasi
Departemen Pendidikan Nasional.
Kepala Bagian Penyusunan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan dan Bantuan Hukum I.
Muslikh, S.H.
NIP.131479478

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007


TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 22 TAHUN 2006 TENTANG
STANDAR ISI UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DAN
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG STANDAR KOMPETENSI LULUSAN UNTUK SATUAN
PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang : bahwa dalam rangka perluasan akses sosialisasi Standar Isi dan
Standar Kompetensi Lulusan, perlu mengubah Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23
Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah;
Mengingat : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4496);
2. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja
Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2006;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun
2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/P Tahun
2005;
4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah;
96
5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERUBAHAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 22
TAHUN 2006 TENTANG STANDAR ISI UNTUK SATUAN
PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DAN PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG STANDAR KOMPETENSI LULUSAN UNTUK
SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH.
Pasal I
Beberapa Ketentuan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24
Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah diubah sebagai berikut.
1. Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (4) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
(4) Satuan pendidikan dapat mengadopsi atau mengadaptasi model
kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun
oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan
Nasional bersama unit utama terkait.
2. Ketentuan dalam Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah:
a. menggandakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun
2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah,
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah,
panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan
menengah, dan model kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan
97
menengah, serta mendistribusikannya kepada setiap satuan pendidikan
secara nasional;
b. melakukan bimbingan teknis, supervisi, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum
yang didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah.
c. melakukan usaha secara nasional agar sarana dan prasarana satuan
pendidikan dasar dan menengah dapat mendukung penerapan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Februari 2007
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO