Kamis, 19 Maret 2009

Pendidikan Khusus Kaum Miskin?



ADA kisah menarik dari Amartya Sen dalam bukunya Development as Freedom.
Dikisahkan, Sen yang berumur sekitar sepuluh tahun dan tinggal di Dhaka bermain
di kebun rumahnya pada suatu siang.

Tiba-tiba datang ke rumah Sen seseorang yang terluka tusuk-dengan pisau masih
tertancap di punggungnya-dan berlumuran darah meminta tolong. Ternyata orang
itu adalah korban salah sasaran dalam kerusuhan komunal yang sedang terjadi di
kawasan itu.

"Istri saya sudah melarang saya untuk pergi ke daerah yang terkena huru hara,
namun saya tidak punya pilihan. Saya harus mencari kerja agar keluarga saya
bisa makan hari ini," jelas orang itu kepada ayah Sen dalam perjalanan ke rumah
sakit. Orang itu, diketahui, bekerja sebagai buruh lepas harian. Akhirnya,
orang yang bernama Kader Mia itu meninggal di rumah sakit.

Ketidakbebasan kaum miskin

Sen menceritakan kisah nyata itu untuk menggambarkan betapa kemiskinan membuat
seseorang kehilangan kebebasannya. Sebabnya, preferensi orang miskin amat
terbatas. Kader Mia kehilangan nyawa karena tidak punya pilihan untuk tinggal
di rumah dan menghindari kerusuhan komunal. Dia tidak punya tabungan, bahkan
untuk hidup keluarganya selama satu hari.

Ada sisi lain dari cerita itu. Cerita itu-sedikit banyak-menggambarkan
rasionalitas kaum miskin dalam menentukan preferensi dan mengambil keputusan.
Suatu bentuk rasionalitas yang mungkin amat berbeda dari orang nonmiskin. Pokok
persoalannya, alternatif bagi orang miskin sangat terbatas.

Hal ini berkaitan langsung dengan kebijakan publik dalam mengentaskan
kemiskinan. Implikasinya, tiap kebijakan publik yang terkait pengentasan
kemiskinan harus memperhitungkan "karakteristik" preferensi yang terkait dengan
ketidakbebasan kaum miskin itu. Tanpa itu, kebijakan tidak akan bekerja secara
operasional. Itulah yang terjadi pada banyak kasus. Contohnya, petani miskin di
beberapa negara berkembang memiliki preferensi untuk menolak inovasi pertanian.
Banyak pihak-di luar petani miskin itu-yang semula menganggap preferensi petani
itu bersifat irasional.

Padahal, hal itu justru merupakan keputusan rasional petani. Inovasi pertanian
memang menjanjikan hasil produksi dan pendapatan lebih banyak. Namun, inovasi
itu juga mengandung risiko-meski mungkin tidak tinggi-berupa turunnya produksi
dan pendapatan dibanding bertani memakai cara lama. Dengan pendapatan yang
sedikit di atas batas kehidupan fisik minimum (KFM), petani menjadi takut
risiko inovasi itu.

Karena itu, tiap kebijakan publik dalam pengentasan kemiskinan harus
berbasiskan data dan kebutuhan di tingkat mikro. Karakteristik masalah di
antara kasus-kasus kemiskinan amat bervariasi dan hal itu akhirnya menentukan
preferensi kaum miskin. Ini berarti, perlu ada kebijakan khusus untuk kaum
miskin sekaligus tidak ada solusi yang seragam antara berbagai kasus kemiskinan.

Itu juga yang disampaikan ekonom dan Kepala Columbia University's Earth
Institute Jeffrey Sachs mengenai pengentasan kemiskinan. Menurut dia, diagnosa
terhadap kemiskinan harus seperti diagnosa seorang dokter terhadap pasiennya.
Dia menamakannya clinical economics. Dalam analisis ini, kemiskinan harus
dilihat secara komprehensif dan teliti sehingga melahirkan kebijakan publik
yang praktis dan tepat. Seperti penyebab sakit pada pasien, menurut Sachs,
penyebab kemiskinan antartempat atau masyarakat tidak dapat digeneralisasi.

Pendidikan kaum miskin

Preferensi dan ketidakbebasan juga harus menjadi pertimbangan kuat dalam
melaksanakan kebijakan pendidikan bagi kaum miskin. Dalam konteks ini,
pendidikan diharapkan mampu memperluas kebebasan dan preferensi kaum miskin.

Yang masih dilupakan, kebijakan pendidikan sendiri-agar bisa mencapai
tujuannya-juga harus memperhitungkan preferensi dan keterbatasan kaum miskin.
Ini terlihat, misalnya, dalam reaksi keras terhadap rencana kategorisasi jalur
pendidikan formal menjadi jalur formal mandiri dan jalur formal standar. Yang
tampak dari wacana ketidaksetujuan itu adalah ilusi normatif dan generalisasi
usulan kebijakan pendidikan bagi kaum miskin.

Faktanya, anak dari keluarga miskin terutama yang tergolong chronical poverty
atau extreme poverty memerlukan semacam kebijakan pendidikan khusus. Hal ini
disebabkan kaum miskin memiliki keterbatasan dan karakteristik masalah yang
berbeda dengan orang nonmiskin. Pendidikan yang bersifat umum-meski terasa
mulia secara normatif-tidak akan efektif memutus lingkaran setan kemiskinan
(vicious circle of poverty).

Sedikitnya, ada dua penyebab kebutuhan itu. Pertama, tingginya biaya pendidikan
yang bersifat umum, terutama bagi kaum miskin kronis. Biaya pendidikan langsung
masih bisa dibebankan kepada anggaran publik, tetapi tidak demikian halnya
dengan biaya tidak langsung seperti biaya transportasi, uang saku, dan "biaya
belajar". Biaya belajar yang sering diabaikan, misalnya, bernilai signifikan.
Jeffrey Sachs menjelaskan, 33 siswa di sebuah daerah miskin di Kenya yang
berhasil lulus ujian nasional. Kuncinya, komunitas itu mendukung aktivitas
belajar siswa di luar jam kelas dengan menyediakan makanan di siang hari.

Kedua, terkait poin pertama, kaum miskin memiliki kebutuhan untuk segera
bekerja. Waktu tunggu untuk menamatkan pendidikan tinggi, misalnya, terlalu
panjang. Ini melahirkan kebutuhan terhadap sekolah pada tingkat dasar atau
menengah yang memberikan keterampilan khusus dan sesuai kesempatan kerja.

Tanpa kebijakan yang spesifik, data BPS menunjukkan, pendidikan sampai tingkat
menengah pertama belum efektif mengatasi pengangguran. Data tahun 2003
menunjukkan, pengangguran terbuka pada kelompok tidak sekolah atau tidak tamat
SD sebesar 5,57 persen. Pengangguran terbuka pada kelompok tamatan SD dan
tamatan SMP umum lebih tinggi, berturut-turut sebesar 6,34 persen dan 11,41
persen.

Dapat ditafsirkan, pendidikan dasar yang bersifat umum seperti sekarang ini
tidak mampu menyelesaikan masalah kaum miskin. Tanpa tabungan, akses, dan
kekayaan, kaum miskin yang menyelesaikan pendidikan dasar dan menganggur akan
kian menderita. Karena itu diperlukan jenis pendidikan yang lebih spesifik bagi
kaum miskin, misalnya pendidikan berbasis keterampilan dan potensi lokal, yang
mampu menjadi bekal memperoleh pekerjaan.

Akhirnya, hindari berpikir normatif dan menerapkan generalisasi dalam kebijakan
pendidikan bagi kaum miskin. Termasuk menerapkan kebijakan yang kelihatan ideal
dan memenuhi asas normatif tetapi tidak akan berfungsi di lapangan.


Tata Mustasya Peneliti Ekonomi The Indonesian Institute, Alumnus FEUI

Kelas Super, Wadah Pendidikan Khusus Bagi Anak-Anak Jenius


Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta bekerjasama dengan Yayasan Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), dan Bayerische Motoren Werke (BMW) Indonesia baru saja me-launching kelas super khusus bagi anak jenius. September nanti, pendidikan bagi anak-anak pilihan ini akan dimulai.

PRESTASI anak-anak Indonesia di berbagai olimpiade sains internasional melahirkan inspirasi untuk membuat wadah bagi anak-anak yang berkemampuan tinggi. Karena itulah dibuat kelas khusus bagi anak-anak jenius yang nantinya akan mewakili Indonesia dalam berbagai even internasional.

"Kami menyebutnya kelas super. Karena isinya memang anak-anak berkemampuan super," kata Kepala Dinas Dikmenti DKI Jakarta Margani M. Mustar, saat me-launching kelas itu 10 Agustus lalu. Untuk sementara, kelas super ini baru dibuka di Jakarta. Ke depan, Dikmenti akan mengembangkan ke beberapa kota, seperti Surabaya, Semarang, Jogjakarta, dan Bandung.

Anak-anak berkemampuan super, memang ditengarai sangat banyak di Indonesia. Ketua Yayasan TOFI Prof Yohanes Suryo, pernah menguji IQ 1.500 siswa SMA di Indonesia. Di antara anak-anak tersebut, terdapat 40 siswa yang memiliki IQ di atas 150.

Untuk di Jakarta, Dinas Dikmenti meminjam salah satu ruang SMAN 3 Jakarta sebagai tempat belajar anak-anak kelas super. Alasannya, fasilitas yang tersedia di sekolah sudah memadai. Lokasinya juga cukup strategis, yakni di kawasan Kuningan. Kelas super juga akan memanfaatkan laboratorium-laboraturium di beberapa SMA lain.

Dalam satu-dua minggu ini proses seleksi akan dilakukan. Menurut Yohanes Suryo, yang berhak mengikuti seleksi adalah siswa yang memiliki nilai total minimal 28 dalam ujian nasional SMP, atau dengan rata-rata nilai minimal 9,33. Syarat lainnya, yakni memiliki nilai matematika 10.

Hasil penjaringan sementara, terdapat sekitar 3.000 siswa yang memenuhi persyaratan di atas. Selain itu akan diseleksi 2.000 siswa yang memiliki minat khusus di bidang sains. "Jadi total yang akan diseleksi sebanyak 5.000 siswa. Mereka akan menjalani tes potensi akademik (TPA). Jumlah itu dikerucutkan menjadi 50 siswa untuk mengikuti tes wawancara," kata Yohanes," kata Yohanes.

Lantas, seperti apa kelas super ini nantinya? Yohanes menjelaskan, dalam satu kelas terdiri dari 20-40 siswa. Mereka akan dibimbing oleh tenaga pengajar khusus bergelar master dan doktor (S2 dan S3). Para guru ini berasal dari beberapa lembaga seperti BPPT, Puspitek, ITB, dan sebagainya. Tentu saja, honor guru-guru ini juga berstandar lebih tinggi disbanding guru biasa. Maklum, BMW Indonesia memberikan support yang besar dalam program ini.

Kurikulum yang diberikan juga sedikit berbeda. Siswa akan mendapat materi pelajaran selevel dengan perguruan tinggi. "Asumsinya, pelajaran se-level SMA sudah mereka kuasai," kata Yohanes.

Pada saat kelas I, para siswa akan mendapat pelajaran fisika, biologi, kimia, matematika, dan komputer. Materinya disamakan dengan yang diterima mahasiswa semester pertama dan kedua. Untuk materi bahasa Inggris, akan diarahkan untuk penguasaan materi percakapan. Sedangkan, pelajaran bahasa Indonesia difokuskan untuk memberikan kemampuan menulis karya ilmiah. Para siswa ini juga diberi materi budi pekerti serta pelajaran musik klasik.

Saat naik ke kelas dua, siswa sudah diarahkan pada spesialisasi pelajaran tertentu. Makanya, materi sains yang diberikan juga fokus pada salah satu pelajaran, yakni matematika, kimia, biologi, atau kimia. Kelompoknya dirampingkan menjadi 5 siswa setiap kelas. Penyampaian materi juga dalam bahasa Inggris. Sedangkan pelajaran bahasa Inggris diarahkan pada kemapuan TOEFL dan menulis paper.

Untuk menambah wawasan, juga diberikan materi ekonomi, sosial, dan budaya. Juga diberikan materi kepemimpinan mengasah kemampuan para siswa dalam presentasi dan diskusi.

Sumber : Pontianak Post

Anak Cacat Punya Hak Untuk Memperoleh Pendidikan


“Jangan kan di wilayah pedalaman yang jauh dari akses pendidikan, di kota saja belum cukup banyak sekolah yang menangani anak-anak cacat. Mereka kan punya hak yang sama dengan orang normal dalam memperoleh pendidikan,” sebut Kamino, Kepala Sekolah Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Bagian B, Kotaraja, Jayapura, Papua Kamino, S.Pd kepada JUBI di ruang kerjanya, belum lama ini. Dikatakannya, kalau ada pihak yang tak memperdulikan anak-anak cacat, itu merupakan tindakan salah.
Kamino menjelaskan, Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Bagian B Kotaraja, Jayapura, setiap tahun menyampaikan sosialisasi kepada masyarakat melalui media cetak maupun elektronik agar masyarakat tahu ada sekolah yang menampung anak-anak yang berkebutuhan khusus (cacat). “Kami melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang sekolah anak-anak yang berkebutuhan khusus (cacat) melalui media cetak dan elektronik agar mereka tahu ada sekolah khusus yang menampung anak-anak cacat,” katanya.
Dikatakan Kamino, SLBN di Kota Jayapura terdiri dari beberapa bagian masing-masing Bagian A khusus Tuna Netra (Buta), Bagian B Tuna Rungu (Bisu), Bagian C Tuna Grahita (Mental) serta Bagian D Tuna Daksa (Cacat Tubuh). Khusus di SLBN Bagian B Kotaraja, Jayapura menyelenggarakan pendidikan untuk tingkat TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Selain SLBN Kotaraja, di Kota Jayapura terdapat 3 SLBN masing-masing SLBN Buper Perumnas I Waena menyelenggarakan pendidikan Bagian A, B, C dan D untuk tingkat SDLB, SMPLB dan SMALB serta SLBN Yoka, Waena menyelenggarakan pendidikan Bagian A,B,C,D khusus tingkat SDLB. SLBN Bagian B Kotaraja, Jayapura terdiri dari TKLB 3 siswa terdiri dari putra 1 dan 2 putri, SDLB 29 putra 16, putri 13, SMPLB 11 9 putra, 2 putri, SMALB 19 putra 12, 9 putri. Jumlah 64 siswa putra 38 dan putri 25.
Untuk mengajar siswa di SLBN Bagian B Kotaraja, Jayapura, maka para guru mesti memiliki pendidikan khusus, terdiri dari Diploma II Pendidikan Luar Biasa dan Sarjana Bimbingan Konseling. Jumlah guru 17 orang terdiri 9 pria dan 8 perempuan. Selain itu, SLBN Bagian B Kotaraja, Jayapura beruntung memiliki seorang guru, Kamino yang menyelesaikan pendidikan Diploma II pada IKIP Solo FKIP Jurusan Pendidikan Luar Biasa dan melanjutkan pendidikan S 1 pada FKIP Program Studi Bimbingan Konseling di Universitas Cenderawasih Jayapura.

Kamus Sistem Isyarat Bahasa Indonesia
Tata Cara Pengajaran di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Bagian B Kotaraja, Jayapura menggunakan Kamus Sistem Isyarat Bahasa Indonesia. Dijelaskan Kamino, Kamus Sistem Isyarat Bahasa Indonesia yang diajarkan di SLBN Bagian B Kotaraja, Jayapura terdiri dari abjad jari, tanda baca, awalan, akhiran, imbuhan, angka, kata dan lain-lain. “Para guru yang mengajar di SLBN Bagian B Kotaraja, Jayapura ini selain mengajar dengan menggunakan bahasa bibir juga menggunakan isyarat bahasa. Beda dengan mengajar di sekolah-sekolah umum,” katanya. Ditambahkannya, para guru di sekolah tersebut melakukan pendekatan pengajaran kelas difokuskan secara individu karena karakter setiap anak berbeda. “Si A dan B memiliki kemampuan yang berbeda dengan Si C dan D sehingga guru harus memahami karakter setiap anak,” ujar Kamino.
Dinyatakan Kamino, untuk SLBN Bagian B (khusus anak-anak tuna rungu) mata pelajaran yang diberikan adalah bimbingan Bina Presepsi Bunyi dan Irama (BPBI) yakni melatih untuk bicara dan melatih pendengaran. Menurutnya, sebagian besar siswa yang masuk di SLBN Bagian B Kotaraja, Jayapura ini belum mendapatkan bimbingan BPBI. Untuk itu, pihaknya menyiapkan ruangan khusus untuk pembinaan BPBI yang dilengkapi dengan peralatan untuk melatih dalam pembelajaran BPBI yang dapat menimbulkan sumber bunyi seperti pianika, piano, rebana, gong, seruling, tambur, tifa dan lain-lain.
Bagi siswa yang belum pernah sekolah, tukas Kamino, mereka masih mempunyai sisa pendengaran atau suara setelah dibina dan dilatih di sekolah mereka mengalami perubahan serta bisa berbicara walaupun tak sejelas orang normal.
“Jadi mereka yang masih punya sisa suara dilatih supaya bisa berbicara. Sedangkan yang masih punya sisa pendengaran dilatih supaya pendengarannya lebih peka,” tutur Kamino. Di dalam kehidupan bersama anak-anak cacat, Kata dia, ada suka dan duka. Sukanya adalah dapat bermain dan bercanda bersama anak-anak dengan tingkah laku yang lucu. Sedangkan dukanya adalah perilaku anak-anak acapkali menjengkelkan karena sering tak mengikuti bimbingan dan arahan dari guru. “Menghadapi anak-anak cacat kita mesti sabar dan penuh kasih sayang,” imbuh Kamino.
Para siswa SDLB Bagian B Kotaraja, Jayapura sebagian besar tinggal di Angkasa, Base’G, Jayapura Kota, Pasir Dua dan lain-lain. Kamino menyatakan, siswa tuna runggu memiliki ketrampilan lebih di bidang melukis, menganyam, menjahit, menyulam dan lain-lain. Di bidang olahraga 5 siswa dari SLBN Bagia B Kotataja, Jayapura mendapat kesempatan mewakili Provinsi Papua pada Pekan Olahraga Cacat Nasional (Percanas) ke-17 Tahun 2008 lalu di Samarinda (Kalimantan Timur), di cabang atletik yakni lari 100—1.500 Meter, lompat jauh, lempar lembing, lempar cakram dan tolak peluru. Sebelumnya di tahun yang sama, SLBN Bagian B Kotaraja, Jayapura juara III Kejuaraan Atletik Tingkat SLTA Se-Kota Jayapura. Para siswa SLBN Bagian B Kotaraja, Jayapura setiap Jumat mengikuti pembinaan dan pengembangan diri terutama olahraga tenis, bulu tangkis dan lain-lain. (Musa Abubar/Makawaru da Cunha)



Menata dan Memajukan Pendidikan di Indonesia


Pendidikan, selain yang dikembangkan oleh pemerintah yang bersifat umum, juga terdapat pendidikan keagamaan, yang kemudian diakomodasi oleh Departemen Agama. Masing-masing umat beragama, tidak terkecuali umat Islam sudah lama mengidealkan pendidikan tersendiri, ialah pendidikan Islam. Mereka kemudian membangun lembaga pendidikan yang khas yaitu madrasah, sejak tingkat ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah dan bahkan sampai tingkat perguruan tinggi. Sedemikian tinggi kepercayaan mereka bahwa lembaga pendidikan Islam mampu mengantarkan putra-putri mereka menjadi manusia yang diidealkan, yakni menjadi orang beriman, beramal saleh serta berakhlakul karimah.

Semangat sementara kaum muslimin dalam membangun lembaga pendidikan Islam sedemikian tinggi. Begitu pula tampak pada umat agama lainnya. Sehingga, mereka tidak peduli dengan keterbatasan tenaga, sarana dan juga dana yang digunakan untuk menyangga program yang dikembangkan itu. Akibatnya, tidak sedikit lembaga pendidikan yang dirintis dan dikelola masyarakat kondisinya seperti apa adanya. Proses pendidikan kemudian asal berjalan. Mereka rupanya percaya bahwa kegiatan pendidikan cukup bermodalkan label yang dimiliki. Dengan label Islam, misalnya telah dianggap mampu melahirkan lulusan yang lebih baik dibanding lembaga pendidikan lainnya. Kualitas, seolah-olah hanya diukur dari label yang disandang, dan tidak terkait dengan isi yang seharusnya dikembangkan.

Terhadap fenomena seperti itu, ada beberapa hal yang harus dipahami lebih jauh. Pertama, bagi umat beragama, Islam misalnya, pendidikan adalah merupakan kebutuhan mutlak, yang tidak bisa digantikan oleh lainnya. Kedua, sementara itu yang dipentingkan oleh mereka baru pada tingkat sederhana, ialah berlabel Islam. Padahal semestinya sebutan Islam seharusnya menggambarkan kualitasnya unggul. Lembaga pendidikan yang dibangun atas dasar keimanan, ke Islaman dan ihsan (selalu memilih yang terbaik) akan melahirkan produk kualitas tinggi. Ketiga, atas dasar kecintaannya pada jenis lembaga pendidikan tersebut, masyarakat bersedia berkorban demi kelangsungan lembaga pendidikan tersebut.

Atas dasar kenyataan ini, maka siapapun pemimpin bangsa ini tidak selayaknya mengabaikan lembaga pendidikan yang dirintis dan dibangun atas dasar motivasi agama ini, apalagi melarangnya. Jika masyarakat pecinta lembaga pendidikan jenis ini merasa ditekan atau bahkan dihalang-halangi, maka dengan cara apapun mereka akan mencari jalan keluarnya. Justru ketika usaha mereka dilarang atau dibatasi, maka semangat mereka akan lebih berkobar dan demikian pula kesediaan berkorban semakin tinggi. Keberadaan lembaga pendidikan berupa pondok pesantren dan madrasah yang tumbuh di mana-mana adalah sebagai bukti yang dapat menunjukkan bahwa betapa aspirasi umat Islam dalam membangun lembaga pendidikan tidak bisa dibendung atau apalagi dilarang.

Dalam hal menata lembaga pendidikan, pemerintah telah melakukan kesalahan sejarah yang mendasar. Pemerintah seakan-akan memosisikan diri sebagai pesaing masyarakat. Padahal seharusnya pemerintah menempatkan diri sebagai pelayan dan bukan pesaing. Posisi itu terlihat misalnya dari kebijakan pemerintah tatkala membangun lembaga pendidikan. Tidak sedikit di berbagai daerah, masyarakat sudah lama memiliki lembaga pendidikan yang berstatus swasta, tetapi pemerintah mendirikan yang baru baru di sekitar tempat itu. Lembaga pendidikan yang dibangun oleh pemerintah, disediakan fasilitas lebih lengkap bilamana dibandingkan dengan lembaga pendidikan swasta yang didirikan oleh masyarakat itu. Hal itu mudah dimengerti, karena pemerintah memiliki dana, tenaga dan fasilitas lainnya. Sedangkan lembaga pendidikan swasta yang dibangun oleh masyarakat tidak tersedia kekuatan itu semua.

Akibatnya, kehadiran lembaga pendidikan pemerintah, mengancam eksistensi lembaga pendidikan swasta. Secara diam-diam kemudian terjadilah persaingan yang tidak seimbang. Lembaga pendidikan swasta jelas akan kalah bersaing, dan akhirnya jika tetap hidup maka kehidupannya akan terbatas dan berjalan apa adanya. Itulah sebabnya kemudian pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat, biasanya akan menyandang ciri-ciri, yaitu tahan hidup sekalipun juga sulit maju dan masih ditambah ciri lainnya ialah kaya masalah.

Andaikan pemerintah tidak menempatkan diri sebagai pesaing masyarakat, tetapi hadir untuk menyempurnakan yang sudah ada, maka tidak akan terjadi benturan di antara dua kekuatan itu, sehingga lembaga pendidikan yang dikelola masyarakat akan lebih kuat dan maju. Saat ini karena kekuatan masyarakat semakin hilang, lantaran semua sudah diambil alih oleh pemerintah, maka yang terjadi adalah di mana-mana terdapat sekolah roboh, peralatan rusak berat, sedangkan masyatrakat tidak peduli. Bahkan dengan dirintis BP3 dan juga akhir-akhir ini dikembangkan Komite Sekolah, tetapi keberadaannya seperti setengah hati dan keberadaannya hanya sebatas bersifat formalitas saja.

Jika disadari bahwa lembaga pendidikan itu adalah milik dan untuk masyarakat, maka semestinya pemerintah memberikan toleransi apa yang sudah ada itu berkembang. Pemerintah bisa mengambil peran sebagai regulator dan bantuan penyempurnaannya, tanpa harus bersaing dan bahkan melemahkan partisipasi masyarakat. Buah dari kesalahan sejarah itu, tampak bahwa pada saat ini pemerintah sangat kesulitan menumbuhkan partisipasi masyarakat dan bahkan selalu dituntut untuk mencukupi seluruh biaya pendidikan. Tuntutan agar anggaran pendidikan mencapai 20 % yang selalu disuarakan itu, sesungguhnya harus disadari bahwa itu semua merupakan buah kesalahan pemerintah masa lalu.

Kebijakan pemerintah akhir-akhir ini menyangkut pendidikan juga disadari atau tidak, juga akan mengganggu kreativitas masyarakat. Pemerintah maunya menerapkan monopolicy dalam pendidikan. Semua hal yang terkait dengan pendidikan serba distandarkan. Padahal standard atau seragam itu hanya mungkin dilakukan untuk hal-hal yang bersifat fisik. Sedangkan aspek-aspek yang bersifat intelektual, apalagi sisi-sisi manusia yang terdalam seperti aspek batin, kearifan, spirit, budaya dan apa saja yang terkait dengan itu, sangat sulit dilakukan. Membuat seragam baju sekolah, bentuk bangunan kelas, warna buku dan alat transportasi ke sekolah, misalnya sepeda, akan mudah. Tetapi menyeragamkan hal terkait dengan budaya, pandangan hidup, kearifan, dan keyakinan tidak semudah itu. Membuat orang Madura menjadi orang Papua dan sebaliknya akan mustahil dilakukan. Mestinya biarkan lah orang Papua tetap menjadi orang Papua, Orang Minang tetap menjadi orang Minang dan seterusnya. Kumpulan berbagai etnis yang berbeda-beda itu, tokh masih memegang semboyan Bhineka Tunggal Ika, dan tetap bernama Indonesia.

Bahwa yang perlu diingat bahwa manusia itu bersifat unik, yakni masing-masing memiliki ciri, karakteristik, pribadi, minat dan lain-lain yang berbeda-beda. Keunikan itu semestinya dikembangkan secara maksimal. Kita lihat misalnya, tidak sedikit orang yang memiliki watak, jiwa atau bakat yang aneh. Jika hal itu dipaksa untuk diseragamkan, maka kita semua yang akan rugi. Kita mengira yang seragam itu yang baik, padahal dalam hal-hal tertentu, kita tidak perlu menyeragamkannya. Oleh karena itu mengembangkan pendidikan yang tepat adalah yang memberikan space sehingga semua potensi bisa berleluasa berkembang sesuai dengan keunikannya. Atas dasar pikiran ini maka biarlah pendidikan berwarna-warni, di sana terdapat universitas yang mengkaji sains, di tempat lain, khusus kaum muslimin berkreasi mengembangkan universitas yang mengkaji Islam dan sains secara terintegrasi, dan di tempat lain pula terdapat pondok pesantren dengan ciri-ciri tersendiri. Hendaknya semua saja dikembangkan secara berbarengan serta diberlakukan secara adil dan seimbang. Tidak perlu mereka dipaksa-paksa agar sama, sebab justru dengan kesamaan atau keseragaman itu bisa jadi kurang berhasil menampakkan keindahannya. Allahu a’lam.

Revitalisasi Pendidikan Pesantren

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Lembaga ini layak diperhitungkan dalam pembangunan bangsa di bidang pendidikan, keagamaan, dan moral.

Dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman luar biasa dalam membina, mencerdaskan, dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.

Pesantren telah lama menyadari bahwa pembangunan sumber daya manusia (SDM) tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga semua komponen masyarakat, termasuk dunia pesantren. Karena itu, sudah semestinya pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan SDM ini terus didorong dan dikembangkan kualitasnya.

Pengembangan dunia pesantren ini harus didukung secara serius oleh pemerintah yang terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Mengembangkan peran pesantren dalam pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun pendidikan.

Dalam kondisi bangsa saat ini krisis moral, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit reformasi gerakan moral bangsa. Dengan begitu pembangunan tidak menjadi hampa dan kering dari nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam eksistensinya, pesantren pada umumnya bersifat mandiri dan tidak tergantung pada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Dengan sifat kemandiriannya inilah pesantren bisa memegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Islam. Pesantren pun tidak mudah disusupi oleh aliran atau paham yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Sedikitnya ada tiga unsur utama penopang eksis dan tidaknya pesantren dalam pendidikan, yaitu kiai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri, kurikulum pondok pesantren, dan sarana peribadatan serta pendidikan, seperti masjid, rumah kiai, pondok, madrasah, dan bengkel-bengkel keterampilan. Unsur-unsur tersebut mewujud dalam bentuk kegiatannya yang terangkum dalam Tridharma Pondok Pesantren, yaitu pembinaan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, pengembangan keilmuan dan keahlian yang bermanfaat, serta pengabdian pada agama, masyarakat, dan negara.

Kebijakan Diknas
Merujuk pada UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan pesantren memiliki tempat istimewa. Namun, ini belum disadari oleh mayoritas Muslim. Ini karena kelahiran UU tersebut amat belia. Keistimewaan pesantren dalam sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal berikut.

Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di pesantren. Pesantren sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia.

Eksistensi pesantren sebagai motor penggerak pendidikan keagamaan mendapat legitimasi yang kuat dalam sistem pendidikan nasional. Pasal 30 menjelaskan, pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis.

Pesantren yang merupakan pendidikan berbasis masyarakat juga diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55 menegaskan: Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Ketentuan tersebut mestinya semakin membuka peluang pesantren terus bertahan dan berkontribusi mengembangkan pendidikan keagamaan formal maupun nonformal. Dengan demikian, pesantren mampu melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, kreatif, memiliki skill dan kecakapan hidup profesional, agamis, serta menjunjung tinggi moralitas.

Pesantren tidak perlu merasa minder, kolot, atau terbelakang. Posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memiliki tujuan yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kenyataannya, amanat UU Sisdiknas serta UU Guru dan Dosen serta beberapa peraturan pemerintah lainnya masih belum berpihak pada dunia pesantren. Pesantren nyaris tidak pernah disentuh dan dilibatkan dalam kebijakan sistem pendidikan nasional. Revitalisasi pendidikan pesantren yang diamanatkan UU Sisdiknas pun terabaikan.

Revitalisasi pesantren
Untuk semakin memajukan pendidikan pesantren sesuai amanat UU No 20/2003, eksistensi dan fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan harus makin ditingkatkan. Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan harus berniat sungguh-sungguh memberikan ruang dan peran yang lebih luas untuk merevitalisasi dan membangun modernisasi dunia pesantren.

Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama harus lebih meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi dengan intensif dalam pelaksanaan dan pengelolaan pesantren. Upaya merevitalisasi dan memodernisasi pesantren tentu saja harus sejalan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan nasional.

Paling tidak, hal ini bisa dilakukan melalui beberapa terobosan. Pertama, menghapus dikotomi dan diskriminasi terhadap pendidikan pesantren yang selama ini dipandang sebagai bukan bagian dari sistem pendidikan nasional. Kedua, diperlukan adanya pola pendidikan dengan terobosan kurikulum terpadu yang memadukan antara pendekatan sains, agama, dan nilai kebangsaan. Dengan begitu, upaya penanaman nilai agama, moral, dan nilai kebangsaan pada anak didik dapat mencapai sasaran pembelajaran.

Ketiga dan yang tak kalah penting lagi adalah upaya peningkatan kualifikasi, profesionalitas dan kesejahteraan guru pesantren sebagaimana amanat UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Sehingga, guru-guru di pesantren bisa mengajar dengan nyaman dan merasakan hidup yang sejahtera.

Sudah saatnya kita lebih memperhatikan dunia pendidikan pesantren. Pesantren harus ditempatkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Pesantren telah memberikan kontribusi nyata dalam melahirkan generasi berkualitas dan mampu menjaga moralitas bangsa.

Ikhtisar
- Pesantren berpengalaman dalam membina, mencerdaskan, dan mengembangkan masyarakat.
- Pemerintah harus lebih memedulikan pesantren demi kemaslahatan umat. http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=16

Idul Fitri Media Pendidikan Keagamaan Kritis-Konstruktif

DALAM kalender peribadatan umat Islam, puasa merupakan ibadah yang memakan waktu paling lama dibandingkan dengan ibadah yang lain. Selama menjalankan puasa, manusia Muslim memperoleh beberapa pengalaman rohaniah-religius yang langsung terkait dengan pengasahan kepekaan terhadap lingkungan sekitar dan pemupukan rasa solidaritas sosial-kemanusiaan paling dalam. Sedemikian dalamnya sehingga Allah SWT menjanjikan ampunan dosa bagi yang berpuasa dengan penuh perhitungan, introspeksi mendalam, dan kesungguhan (ghufira ma taqaddama min dhanbihi wa ma ta’akhkhara).

Akan tetapi, tidak mudah bagi seseorang apalagi kelompok untuk memetik saripati atau buah gemblengan puasa. Begitu sulitnya, sampai-sampai Rasulullah SAW perlu menyampaikan peringatan tegas kepada pengikutnya, tidak semua orang yang telah melakukan puasa serta-merta akan memetik buah ibadah puasa. "Banyak orang berpuasa tidak memperoleh apa-apa dari puasanya, kecuali hanya lapar dan dahaga" (kam min saimin laisa lahu min saumihi illa al-ju’ wa al-’atas).

Dalam setiap ritual keagamaan, selain ada unsur "optimisme", juga ada unsur "pesimisme". Kenyataan hidup sehari-hari, kedua unsur itu ada dalam diri seseorang. Ada perasaan besar harap (al-raja), tetapi juga ada perasaan khawatir atau ragu (al-khauf). Untuk itu, pada ayat yang mewajibkan orang mukmin berpuasa diakhiri dengan "harapan" (la’ala: la’alakum tattaqun); semoga dengan ibadah puasa dapat mencapai derajat takwa yang sesungguhnya. Mengapa? Karena masih banyak cobaan, rintangan, dan godaan yang harus dihadapi dalam kehidupan sehari-hari di luar bulan puasa, yang dapat menjauhkan dari nilai-nilai puasa yang seharusnya dipetik.

Panduan etika kehidupan

Abad baru, abad ke-21, membawa tantangan baru negatif maupun positif bagi manusia. Jika hal-hal negatif tidak segera diwaspadai dan diantisipasi, maka hal itu akan membuat lingkungan hidup di muka planet Bumi kian tidak nyaman dihuni.

Tanda-tanda ke arah itu cukup jelas. Kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam di mana-mana. Tindak kekerasan kian bertambah kualitas maupun kuantitasnya. Bom bunuh diri dianggap wajar. Merajalela dan tidak dapat dicegahnya tindak korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); kemiskinan tampak begitu jelas; rapuhnya kelembagaan keluarga; penyalahgunaan obat terlarang, ketidaksalingpercayaan (mutual distrust) antarwarga, buruk sangka antarkelompok sosial, antarkelompok intern umat beragama, antar-ekstern umat beragama; melemahnya solidaritas kemanusiaan; dan banyak lagi penyakit sosial lainnya.

Menghadapi situasi itu, muncul pertanyaan dari generasi muda dan oleh siapa saja yang ingin menjalani lebih lanjut makna ibadah Ramadhan, sekaligus berharap dapat memperoleh nilai tambah dan manfaat praktis dari ibadah yang dilakukan untuk dijadikan panduan etik dalam hidup sehari-hari.

Dalam studi agama Islam selalu dibedakan-meski tidak bisa dipisahkan-antara wilayah "doktrin" (yang bercorak tekstual teologis) dan wilayah "praktis" (yang bersifat fungsional praktis). Dari segi doktrin, tidak kurang dalam tekstual atau dalil yang dapat dijadikan landasan teologis untuk mewajibkan ibadah puasa. Namun, dari segi manfaat dan nilai guna yang bersifat fungsional praktis, khususnya yang dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari untuk kehidupan sebelas bulan di luar Ramadhan, orang masih perlu menjelaskan dan mengupasnya lebih lanjut.

Setidaknya ada tiga nilai pokok yang dapat dipetik dari ibadah Ramadhan yang dapat dijadikan pedoman etik kehidupan selama 11 bulan yang akan datang.

Sikap kritis dan peduli lingkungan

Agama Islam mempunyai cara pandang dan weltanschauung yang unik. Tidak selamanya kebutuhan makan minum harus dipenuhi lewat tradisi yang biasa berjalan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Rutinitas makan dan minum yang mengandung kalori berlebihan sekali waktu perlu dicegah dan dihindari. Islam mengajarkan, orang tidak harus selalu "terjebak", "terbelenggu", "diperbudak" oleh rutinitas makan dan minum yang terjadwal. Lebih jauh lagi, jangan "terbelenggu" dan "terjebak" rutinitas hukum pasar dan rutinitas hukum ekonomi. Sekali waktu harus dapat mengambil jarak, menahan diri, bersikap kritis, dan keluar dari kebiasaan rutin budaya konsumerisme-hedonisme yang selalu ditawarkan oleh pasar.

Sebenarnya orang yang menjalani puasa dilatih bersikap "kritis" ketika melihat semua fenomena kehidupan yang sedang berjalan dan terjadi di masyarakat luas. Maksud latihan itu agar timbul kekuatan dan keberanian moral untuk melakukan koreksi dan tindakan perbaikan terhadap keadaan lingkungan sekitar. Tindakan koreksi dan perbaikan adalah simbol rasa memiliki sekaligus peduli seseorang terhadap lingkungan sekitar. Pada gilirannya, sikap kritis itu dapat disemaikan kepada orang lain, teman seprofesi, seagama, sejawat penyelenggara negara, dan lebih jauh membuahkan gerakan masyarakat peduli (care society) lingkungan alam dan sosial yang genuin.

Bangsa Indonesia kini sedang terjangkit penyakit careless society, masyarakat yang tidak peduli kepada nasib kiri-kanan. Akibatnya, mereka dirundung berbagai penyakit moral. Generasi muda mudah tergiur narkoba, generasi tua dihinggapi penyakit KKN kronis yang meluluhlantakkan sendi-sendi peradaban masyarakat.

Kedua fenomena moral-sosial itu hanya menunjukkan ketahanan mental dan kekuatan moral bangsa Indonesia sudah mencapai titik terendah. Dalam pergaulan sehari-hari, manusia Muslim tidak lagi mempunyai daya tangkal dan nalar kritis terhadap lingkungan sosial sekitar. Pendidikan agama hanya dipahami secara formal-tekstual-lahiriah, terjebak dan terkurung ibadah mahdlah (murni) dan sifatnya terlalu teosentris, tetapi kurang dikaitkan dengan "jiwa", "makna", "nilai", dan "spirit" terdalam dari ajaran agama yang dapat menggerakkan jiwa seseorang dan kelompok untuk lebih peduli terhadap persoalan kemanusiaan sekitar (anthroposentris).

Dengan berakhirnya ibadah puasa, umat Islam bersama seluruh lapisan masyarakat diharapkan, bahkan dituntut, dapat mengkristalkan nilai dan mengambil sikap bersama untuk membasmi penyakit mental dan moral yang sedang melilit bangsa, yang mengakibatkan krisis multidimensi di Tanah Air.

Kesalehan pribadi dan sosial

Jika direnungkan kembali, falsafah peribadatan Islam, khususnya yang terkait dengan puasa, menegaskan perlunya "turun mesin" (overhauling) kejiwaan selama 29 hari dalam satu tahun. Pada saat turun mesin, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi. Semua peralatan dibongkar, dicek, dan diperiksa satu per satu, lalu diperbaiki dan alat-alat yang rusak diganti. Koreksi total ini dibutuhkan guna menjamin kelancaran dan keselamatan kendaraan untuk waktu-waktu berikutnya.

Dalam beribadah puasa harus selalu ada semangat untuk perbaikan. Pengendalian hawa nafsu, emosi, dan pengendalian diri tidak hanya terfokus pada kehidupan individu, tetapi perlu dikaitkan dan diangkat ke level kehidupan sosial. Dimensi sosial ibadah puasa meminta lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga sosial keagamaan, dan lembaga negara untuk selalu menghidupkan semangat social critics, social auditing, dan social control. Semuanya dimaksudkan untuk memperkuat dan memberdayakan kesalehan publik yang lebih nyata.

Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyyah selalu menekankan aspek kepedulian sosial. Makna tazkiyatu al-nafs (penyucian diri) kini tidak cocok lagi dipahami sebagai menarik diri dari pergumulan dan pergulatan sosial kemasyarakatan, menyepi. Makna tazkiyatu al nafs era kontemporer amat terkait dengan keberadaan orang lain, lingkungan hidup, lingkungan dan sosial sekitar. Zakat, sebagai contoh, selalu terkait dengan keberadaan orang lain. Sebenarnya penyucian diri pribadi atau ritus-ritus individual yang tidak punya dampak dan makna sosial sama sekali kurang begitu bermakna dalam struktur bangunan pengalaman keagamaan Islam yang otentik.

Dengan lain ungkapan, kesalehan pribadi amat terkait dengan kesalehan sosial. Krisis lingkungan hidup di Tanah Air adalah cermin krisis kepekaan dan kepedulian sosial. Ada korelasi positif antara krisis sosial, krisis ekonomi, dan krisis lingkungan hidup. Dampak krisis ekonomi terhadap kehidupan rakyat kecil cukup signifikan, khususnya yang terkait dengan pendidikan anak-anak. Gerakan orangtua asuh, rumah singgah, kesetiakawanan sosial, solidaritas sosial, perlu terus dipupuk, didorong, dan didukung oleh semua pihak.

Ada kecenderungan tidak begitu nyaman di Tanah Air di era reformasi, yaitu menjelmanya gerakan sosial keagamaan menjadi gerakan sosial politik. Perlu kesadaran baru dan upaya lebih serius yang dapat menggiring gerakan sosial keagamaan ke porosnya semula, yaitu gerakan sosial kemasyarakatan agama yang lebih peduli (care society) terhadap isu lingkungan hidup, sosial, pendidikan, ekonomi, dan budaya.

Sejauh manakah ibadah puasa berdampak positif dalam membentuk kesalehan pribadi dan memperkokoh kesalehan sosial? Sejauh mana nuansa pemikiran kritis terhadap lingkungan dapat ditumbuhkembangkan untuk mengurangi jurang yang terlalu jauh antara kesalehan pribadi dan kesalehan sosial? Jika dampaknya masih sedikit, mungkin benar sinyalemen Nabi bahwa banyak orang berpuasa, tetapi mereka tidak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga. Artinya, intisari dan hikmah puasa belum disadari, apalagi diimplementasikan.

Jiwa keagamaan yang inovatif

Kiranya dapat disimpulkan, nilai kegunaan praktis puasa adalah kemampuan membentuk pribadi, cara pandang, dan semangat keagamaan yang baru, inovatif, kreatif, dan dapat diperbarui terus-menerus. Tujuan utama disyariatkan puasa Ramadhan adalah perubahan kualitas hidup beragama ke arah paradigma berpikir keagamaan baru yang lebih menggugah-imperatif, inovatif, kreatif dan transformatif dalam menjalani kehidupan sehari-hari, baik dalam kapasitas seseorang sebagai petani, pedagang, guru, kiai, dosen, artis, birokrat, pejabat negara, pemimpin masyarakat, pemimpin halaqah-halaqah, juru-juru dakwah pimpinan usrah-usrah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ulama, tokoh-tokoh LSM, pegawai kantor, mahasiswa, anggota TNI, polisi, maupun lainnya.

Puasa tidak semata-mata sebagai "doktrin" kosong yang harus dijalani begitu saja, tanpa mengenal makna terdalam serta implikasi dan konsekuensi praktisnya dalam kehidupan nyata sehari-hari. Ibadah puasa mempunyai fungsi moralitas praktis, akhlak karimah, budi luhur dan pendidikan keagamaan yang bermuatan nilai-nilai kritis-konstruktif dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tanpa menangkap makna itu, puasa hanya mendapat lapar.

Terbentuknya cara berpikir, mentalitas, cara pandang, way of life dan cara hidup keagamaan yang "baru", setelah turun mesin 29 hari adalah bagian tak terpisahkan dan termasuk tujuan utama disyariatkan ibadah puasa. "Laisa al-'’d liman labisa al-jadid, wa lakinna al’idu liman taqwa hu yazid" (hari Idul Fitri bukan lagi orang-orang yang mengenakan baju baru, tetapi bagi orang- orang yang takwanya bertambah), yakni bagi mereka yang mempunyai kemauan dan semangat untuk terus memperbaiki kehidupan pribadi, keluarga dan sosial kemasyarakatan, sosial politik dengan landasan keagamaan yang otentik.

Mudah-mudahan dengan mengenal tujuan syar'’y ibadah puasa, dalam merayakan Idul Fitri 1424 H ini umat Islam mampu memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup keagamaan ke arah terbentuknya masyarakat yang kritis dan peduli terhadap lingkungan sosial dan alam sekeliling; mampu berperan aktif mengoreksi perjalanan dan tanggung jawab sejarah di bumi Nusantara ini.

M Amin Abdullah Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Pesantren

Pesantren atau Pondok Pesantren (biasanya juga disebut pondok saja) adalah sekolah Islam berasrama (Islamic boarding school). Para pelajar pesantren (disebut sebagai santri) belajar pada sekolah ini, sekaligus tinggal pada asrama yang disediakan oleh pesantren. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang kyai. Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut Lurah Pondok.

Pendidikan di dalam pesantren bertujuan untuk memperdalam pengetahuan tentang al-Qur'an dan Sunnah Rasul, dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-kaidah tata bahasa bahasa Arab. Istilah Pondok sendiri berasal dari Bahasa Arab (فندوق, funduuq), sementara istilah Pesantren berasal dari kata pe-santri-an.

Sebagai institusi sosial, pesantren telah memainkan peranan yang penting dalam beberapa negara, khususnya beberapa negara yang banyak pemeluk agama Islam di dalamnya. Pesantren menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri. Para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka, agar dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.

Pesantren adalah sekolah pendidikan umum yang persentase ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada ilmu umum. Pesantren untuk tingkat SMP dikenal dengan nama Madrasah Tsanawiyah, sedangkan untuk tingkat SMA dikenal dengan nama Madrasah Aliyah. Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja umumnya disebut pesantren salafi. Pola tradisional yang diterapkan dalam pesantren salafi adalah para santri bekerja untuk kyai mereka - bisa dengan mencangkul sawah, mengurusi empang (kolam ikan), dan lain sebagainya - dan sebagai balasannya mereka diajari ilmu agama oleh kyai mereka tersebut.

Sebagian besar pesantren salafi menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali. Para santri, pada umumnya menghabiskan hingga 20 jam waktu sehari dengan penuh dengan kegiatan, dimulai dari shalat shubuh di waktu pagi hingga mereka tidur kembali di waktu malam. Pada waktu siang, para santri pun belajar ilmu formal, yang dapat diperolehnya dari sekolah umum, sementara pada waktu sore, mereka pun menghadiri pengajian dengan kyai atau ustadz mereka, dengan memperdalam pelajaran agama dan al-Qur'an. Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang rendah; meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang lebih tinggi. Meski begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan lainnya yang sejenis, pesantren modern jauh lebih murah.

Salah satu pesantren yang terkenal di Indonesia adalah Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor yang terletak di Ponorogo, Jawa Timur. Alumninya bertebaran di seluruh Indonesia. Beberapa alumnusnya yang terkenal adalah:

Organisasi massa (ormas) Islam yang paling banyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama (NU).[rujukan?] Ormas Islam lainnya yang juga memiliki banyak pesantren adalah Al-Washliyah dan Hidayatullah.

Salah seorang kyai yang terkenal adalah mantan Presiden Republik Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid putra KH. Wahid Hasyim (Menteri Agama), yang juga keturunan kyai terkenal KH. Hasyim Asy'ari.

Pondok Modern Gontor mempunyai cabang pondok Alumi diberbagai pelosok Indonesia dan salah satu yang terbesar Pondok Modern Arrisalah di Slahung, yang dipimpin oleh KH Ma'sum Yusuf.

Pendidikan Keagamaan; Politik Pendidikan Penebus Dosa

Nasib pendidikan keagamaan sudah lama menyimpan memori panjang diskriminasi anggaran. Negara lebih memanjakan pembiayaan sekolah umum dan mengabaikan sekolah agama. Belanja negara dialokasikan secara tidak berimbang antara lembaga pendidikan negeri dan swasta. Sialnya, sebagian besar lembaga pendidikan keagamaan berstatus swasta.

Lengkap sudah nestapa pendidikan berbasis agama yang berlangsung sejak dahulu kala. “Sekarang negara harus menebus dosa dengan menunjukkan pemihakan pada pemberdayaan pendidikan keagamaan,” kata Menteri Agama, Maftuh Basyuni. Sebab para pendidik dan anak didik di lingkungan pendidikan keagamaan juga warga negara yang sama dengan anak didik dan pendidik pada umumnya. “Mereka sama-sama mendedikasikan diri untuk pendidikan anak bangsa,” Maftuh menambahkan.

Awal tahun anggaran ini menjadi momentum penting untuk menguji apakah politik anggaran negara sudah menunjukkan aksi nyata “penebusan dosa”. Perangkat regulasi sebenarnya sudah kian lengkap. Pada penghujung 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.

Beleid itu mengukuhkan kebijakan pendidikan dalam Undang-Undang 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bahwa pendidikan keagamaan adalah bagian integral sistem pendidikan nasional. Undang-undang ini menjadi tonggak penting politik pendidikan yang menghapus diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta serta antara sekolah umum dan sekolah keagamaan. Alokasi anggaran pun, menurut Pasal 12 PP 55/2007, harus adil antara sekolah negeri dan swasta.

Pendidikan keagamaan merupakan wujud orisinal pendidikan berbasis masyarakat di Nusantara. Mereka tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat. Di lingkungan Islam terdapat pesantren, madrasah, dan diniyah. Di Katolik ada seminari.

Di Hindu ada pasraman dan pesantian. Buddha mengenal pabbajja. Konghucu menyebut shuyuan, dan sebagainya. Tumbuhnya pendidikan keagamaan dalam masyarakat sebagian justru akibat kebijakan negara yang buruk dalam mengelola pendidikan agama.

Pendidikan agama kerap berjasa menampung anak didik yang kurang mampu, sehingga tidak terwadahi di sekolah umum dan negeri. Banyak di antara lulusannya yang kemudian menjadi tokoh penting dalam sejarah nasional. Jumlah mereka tidak bisa dipandang sebelah mata.

Di lingkungan pendidikan Islam saja, menurut data Departemen Agama (Depag) tahun 2006, ada 2,67 juta anak didik yang menempuh pendidikan di 14.700 pondok pesantren. Hampir sama dengan jumlah mahasiwa di 2.800 perguruan tinggi negeri dan swasta di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sebanyak 2,69 juta orang.

Yang bersekolah di 27.000 sekolah diniyah ada 3,4 juta orang. Setara dengan siswa pada 9.000-an SMA negeri dan swasta se-Indonesia, yang juga berjumlah 3,4 juta.

Peserta pendidikan dasar sembilan tahun di lingkungan madrasah dan diniyah mencapai 6,1 juta murid. Seperenam dari total peserta pendidikan dasar sembilan tahun ada di lingkungan Depdiknas, yang mencapai 36 juta murid.

Sebagian terbesar (lebih 80%) jenjang pendidikan agama di lingkungan Islam, mulai level taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi, adalah swasta. Bahkan, menurut data Depag tahun 2005, sekitar 17.000 raudhatul athfal (TK), 14.700-an pesantren, dan 27.600-an diniyah adalah swasta.

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), 90% SD hingga SMA adalah sekolah Katolik dan berstatus swasta. Dari seluruh pendidikan Katolik itu, 60% sehat, 30% sedang, dan 20% hampir sekarat. Sekolah Katolik yang sehat ada di Flores, sedangkan yang sulit berkembang terdapat di Sumba.

“Pada masa Orde Baru, di sini pun sekolah Katolik swasta jadi anak tiri,” kata Ludo Taolin, Wakil Ketua DPRD Belu, NTT. “Padahal, sekolah Katolik banyak berperan mendidik kalangan menengah ke bawah,” katanya. Baru setelah reformasi, menurut Ludo, insentif guru untuk sekolah negeri dan swasta sama. Pemerintah daerah mulai membantu dengan menempatkan guru negeri di sekolah Katolik swasta.

Wajah politik anggaran pemerintah pusat dalam bidang pendidikan berbasis agama dapat dilihat dari anggaran Depag. Tahun 2008 ini, ada peningkatan persentase alokasi untuk “fungsi pendidikan” ketimbang tahun 2007.

Pada 2007, dari total anggaran Depag Rp 14,5 trilyun, alokasi terbesarnya (49,5%) adalah untuk “fungsi pelayanan umum” (Rp 7,2 trilyun). Porsi anggaran pendidikan di Depag pada waktu itu hanya menduduki pos kedua, senilai Rp 6,6 trilyun (46%).

Tahun 2008 ini, di satu sisi, anggaran Depag meningkat 20,9%, menjadi Rp 17,6 trilyun. Di sisi lain, alokasi terbesar bergeser dari fungsi pelayanan umum ke fungsi pendidikan. Gelontoran dana pendidikan meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun lalu, menjadi Rp 14,3 trilyun (81,4%) –macam-macam alokasinya lebih rinci, lihat tabel.

Tidak hanya di tingkat pusat. Wajah lebih ramah pada pendidikan agama juga ditampilkan sejumlah pemerintah daerah. Namun kebijakan anggaran APBD provinsi dan kabupaten/kota sempat tersandung Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Moh. Ma’ruf, Nomor 903/2429/SJ tanggal 21 September 2005 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2006 dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2005.

Surat itu oleh sebagian kepala daerah diartikan sebagai larangan alokasi APBD untuk pendidikan keagamaan, karena bidang agama tidak mengalami desentralisasi. Sehingga anggarannya diambilkan dari belanja pemerintah pusat di APBN, bukan dari APBD.

Hal itu, misalnya, dilakukan Kabupaten Aceh Barat. Dana kesejahteraan guru hanya diberikan kepada guru di lingkungan Depdiknas, tidak diberikan pada guru agama di madrasah yang berafiliasi ke Depag. Akibatnya, seluruh guru madrasah se-Aceh Barat sempat melakukan aksi mogok mengajar pada Agustus 2006.

Hingga 2005, sejumlah gedung madrasah di Kabuaten Tangerang, Banten, rusak berat dan tidak segera direhabilitasi. Menurut anggota DPRD Tangerang, Imron Rosadi, kepada koran lokal, itu terjadi karena APBD Kabupaten Tangerang tidak mengalokasikan bantuan. Baru pada 2007 anggaran perbaikan dan pembangunan gedung disediakan APBD.

Efek surat edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) itu menyulut tuntutan berbagai kalangan agar surat tersebut dicabut. Wakil Ketua DPR pada saat itu, Zaenal Ma’arif, sejumlah anggota DPR, dan Menteri Agama Maftuh Basyuni minta surat edaran itu direvisi karena bisa menghadirkan kembali politik anggaran yang diskriminatif.

Banyak kepala daerah dikabarkan gelisah. Di satu sisi, tak mau salah dalam mengalokasikan anggaran. Di sisi lain, tak ingin berkonfrontasi dengan para elite agama. Pada musim pemilihan kepala daerah secara langsung sekarang ini, hal itu bisa berdampak buruk pada popularitas para tokoh politik lokal. Berbagai proses politik, lobi, dan manuver di balik layar pun ditempuh untuk menyetop berlakunya surat Mendagri itu.

Tapi masih ada beberapa pimpinan daerah yang tidak memedulikan “larangan” surat edaran Mendagri itu. Misalnya dilakukan Bupati Pekalongan, Gresik, dan Banyuwangi di Jawa Timur. Di Banyuwangi, surat Mendagri itu hanya sempat jadi pembicaraan singkat, tapi tidak mempengaruhi alokasi anggaran.

Menurut Arifin Salam, anggota DPRD dan Ketua Lembaga Pendidikan Maarif Banyuwangi, APBD setempat tetap mengalokasikan bantuan pada seluruh siswa pendidikan swasta Rp 20.000 per bulan secara adil. “Sekolah umum dan madrasah punya hak yang sama,” katanya.

Sekolah negeri tidak memperoleh bantuan karena sudah mendapat anggaran operasional dari negara. Tahun 2008, anggaran pendidikan di APBD Banyuwangi mencapai 23%. Bujet buat pendidikan keagamaan semacam pesantren dan semua lembaga pendidikan agama di luar Islam meningkat pesat.

Bila tahun 2005 hanya Rp 3 milyar, tahun 2008 ini mencapai Rp 18 milyar. Sampai-sampai, anggaran dinas lain, seperti peternakan, dikurangi. “Komitmen kami pada pendidikan agama sangat kuat,” ujar Arifin.

Di Langkat, Sumatera Utara, bantuan APBD juga tetap lancar, tak terganggu oleh polemik surat edaran Mendagri. Ustad Muhammad Nuh, pimpinan Pesantren Al-Uswah, Langkat, pada 2007 masih mendapat bantuan dari APBD Sumatera Utara dan APBD Langkat. Namun sifatnya bantuan insidental, tidak tetap. Setahu Nuh, pesantren lain juga masih mendapat bantuan APBD.

Bagi Hidayatullah, anggota Komisi C DPRD Sumatera Utara, kalaupun surat Mendagri itu betul-betul melarang karena kendala ketentuan desentralisasi, semestinya pemerintah daerah tidak kehabisan akal untuk membantu pendidikan keagamaan. Yang penting, ada kemauan politik. Sebab bantuan untuk pendidikan keagamaan masih bisa disalurkan lewat pos bantuan sosial. Hanya, kelemahannya, bantuan tersebut tak bisa rutin dikucurkan.

Sebagian daerah lain meresponsnya dengan membentuk peraturan daerah (perda) tentang madrasah diniyah. Misalnya Banjar, Indramayu, Cirebon, Pandeglang, dan diperjuangkan beberapa daerah lain, seperti Tangerang dan Majalengka. Dengan perda diniyah itu, APBD berkewajiban mengalokasikan anggaran tetap. Apa pun bunyi surat Mendagri tidak berpengaruh.

Lima bulan setelah surat edaran Mendagri beredar, pada Februari 2006 Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah Depdagri, Daeng M. Nazier, membuat surat klarifikasi bertajuk “Dukungan Dana APBD”. Surat yang ditujukan ke gubernur, bupati, wali kota, serta ketua DPRD provinsi dan kabupaten itu menegaskan, “… sekolah yang dikelola oleh masyarakat, termasuk yang berbasis keagamaan seperti madrasah,… dapat didanai melalui APBD sepanjang pendanaan yang bersumber dari APBN belum memadai.”

Daeng M. Nazier juga membuat klarifikasi lewat keterangan pers. “Akhir-akhir ini berkembang penafsiran yang salah terhadap isi surat edaran Menteri Dalam Negeri,” katanya. “Seolah-olah Menteri Dalam Negeri melarang/tidak memperbolehkan dana APBD digunakan untuk mendanai program/kegiatan sekolah-sekolah berbasis keagamaan.”

Nazier menyinggung adanya daerah yang menyetop pendanaan dari APBD untuk kegiatan madrasah ibtidaiyah, tsanawiah, dan aliyah, dengan alasan urusan agama tidak diserahkan kepada Daerah. Padahal, konteksnya berbeda. “Yang tidak menjadi urusan daerah adalah urusan keagamaan, sedangkan urusan pendidikan sudah menjadi urusan wajib pemerintahan daerah.”

Ditegaskan pula, “Seharusnya pemerintah daerah tetap memberikan alokasi dana APBD yang seimbang kepada sekolah-sekolah negeri dan sekolah-sekolah yang berbasis keagamaan.” Sehingga tidak menimbulkan keresahan dan menjaga keberlangsungan proses belajar-mengajar di tiap-tiap daerah.

Surat itu segera diimplementasikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk meredam aksi mogok para guru madrasah. Namun disinyalir banyak daerah lain tidak mau merujuknya, karena surat itu hanya ditandatangani direktur jenderal. Perlu ada ralat langsung dari Mendagri. Tarik-menarik di balik layar pun masih berlangsung kencang.

Maka, pada Juni 2007, Mendagri ad interim Widodo AS (karena Moh. Ma’ruf sakit) membuat Peraturan Mendagri Nomor 30 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2008. Peraturan ini menekankan dilarangnya diskriminasi dalam alokasi anggaran: “Dalam mengalokasikan belanja daerah, harus mempertimbangkan keadilan dan pemerataan agar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi pemberian pelayanan.”

Empat bulan kemudian, Oktober 2007, lahir PP 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan tadi. “Dasar hukum dukungan APBD pada pendidikan keagamaan, seperti pesantren dan diniyah, sebenarnya sudah sangat kuat,” kata Amin Haedari, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag.

Namun Amin mengaku masih saja ada daerah yang bertanya, minta kepastian, tentang boleh tidaknya APBD membiayai sekolah agama. “Baru-baru ini, ada DPRD dari Bangka Belitung yang juga bertanya,” kata birokrat yang banyak membuat terobosan pemberdayaan pesantren itu. Pasca-keluarnya PP itu, semestinya politik anggaran untuk pendidikan keagamaan lebih mulus berjalan.

Tapi mantan Wakil Ketua Komisi Pendidikan DPR, Masduki Baidlowi, menilai diskriminasi anggaran daerah sampai saat ini masih berlangsung. Diskriminasi itu bukan hanya dalam bentuk tidak dialokasikannya anggaran sama sekali. Ada yang memberi alokasi tapi dengan jumlah yang tidak sebanding dengan pendidikan umum. “Itu juga diskriminasi,” katanya.

Masduki menyebut kasus tunjangan guru di DKI Jakarta. Guru di lingkungan Depdiknas mendapat tunjangan Rp 2,5 juta sebulan. Tapi guru madrasah hanya memperoleh Rp 500.000. “Semestinya justru dilakukan kebijakan afirmatif. Perbandingannya, tiga buat madrasah, dua buat sekolah umum,” katanya. “Karena dari awal posisi sarana-prasarana madrasah sudah tertinggal jauh.”

Seretnya alokasi anggaran buat pendidikan keagamaan di tingkat dearah mendorong perencana anggaran tingkat pusat lebih meningkatkan pasokan anggaran. Gelontoran anggaran yang paling besar sejak akhir 2007 adalah diberikannya tunjangan untuk 501.000 guru non-PNS yang mengajar di semua jenjang sekolah agama Islam. Mulai tingkat RA sampai aliyah. Tiap bulan, per orang memperoleh Rp 200.000. Total dalam setahun Rp 1,2 trilyun.

“Ini sudah menjadi tunjangan tetap tiap tahun,” ujar Achmad Djunaidi, Kepala Biro Perencanaan Depag. “Karena banyak guru swasta di madrasah yang sudah mengajar belasan tahun tapi dengan imbalan di bawah Rp 100.000 sebulan.” Tidak mudah, katanya, mengupayakan golnya alokasi tunjangan ini.

Namun, seberat-beratnya memperjuangkan anggaran, menurut Djunaidi, ada hal lanjutan yang jauh lebih penting dan berat. “Yaitu memastikan bantuan pendidikan itu tepat sasaran,” katanya. “Semua orang tahu, birokrasi kita masih korup.” Alokasi dana buat murid dan guru harus betul sampai di tangan mereka. “Jangan sampai mengendap di kantong ketua yayasan atau kepala sekolah,” ujarnya.

Asrori S. Karni, Wisnu Wage Pamungkas (Bandung), Rosul Sihotang (Medan), Wayan Bakori (Denpasar), dan Antonius Un Taolin (Kupang)
[Pendidikan, Gatra Nomor 10 Beredar Kamis, 17 Januari 2008]

MEMAHAMI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah salah satu upaya pembinaan yangditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun, yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Tujuan PAUD adalah membantu mengembangkan seluruh potensi dan kemampuan fisik, intelektual, emosional, moral dan agama secra optimal dlam lingkungan pendidikan yang kondusif, demokratis dan kompetitif.

LANDASAN YURIDIS

  1. Pembukaan UUD 1945 ; ‘Salah satu tujuan kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.’
  2. Amandemen UUD 1945 pasal 28 C

’Setiap anak berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.’

3. UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 9 ayat (1)

’Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minta dan bakat.’

4. UU No 20/2003 pasal 28

1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.

2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, non formal, dan/atau informal.

3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.

4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan non formal berbentuk kelompok bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.

5) Pendidikan anak usia dini pada jalur informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

PAUD MERUPAKAN KOMITMEN DUNIA

Komitmen Jomtien Thailand (1990)

’Pendidikan untuk semua orang, sejak lahir sampai menjelang ajal.’

Deklarasi Dakkar (2000)

’Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini secara komprehensif terutama yang sangat rawan dan terlantar.’

Deklarasi ”A World Fit For Children” di New York (2002)

‘Penyediaan Pendidikan yang berkualitas’

PENTINGNYA PAUD

1) PAUD sebagai titik sentral strategi pembangunan sumber daya manusia dan sangat fundamental.

2) PAUD memegang peranan penting dan menentukan bagi sejarah perkembangan anak selanjutnya, sebab merupakan fondasi dasar bagi kepribadian anak.

3) Anak yang mendapatkan pembinaan sejak dini akan dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan fisik maupun mental yang akan berdampak pada peningkatan prestasi belajar, etos kerja, produktivitas, pada akhirnya anak akan mampu lebih mandiri dan mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

4) Merupakan Masa Golden Age (Usia Keemasan). Dari perkembangan otak manusia, maka tahap perkembangan otak pada anak usia dini menempati posisi yang paling vital yakni mencapai 80% perkembangan otak.

5) Cerminan diri untuk melihat keberhasilan anak dimasa mendatang. Anak yang mendapatkan layanan baik semenjak usia 0-6 tahun memiliki harapan lebih besar untuk meraih keberhasilan di masa mendatang. Sebaliknya anak yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan yang memadai membutuhkan perjuangan yang cukup berat untuk mengembangkan hidup selanjutnya.

KONDISI YANG MEMPENGARUHI ANAK USIA DINI

Faktor Bawaan : faktor yang diturunkan dari kedua orang tuanya, baik bersifat fisik maupun psikis.

Faktor Lingkungan

  1. Lingkungan dalam kandungan
  2. Lngkungan di luar kandungan : lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah dll.

MEMAHAMI KARAKTERISTIK ANAK USIA DINI

  1. Mengetahui hal-hal yang dibutuhkan oleh anak, yang bermanfaat bagi perkembangan hidupnya.
  2. Mengetahui tugas-tugas perkembangan anak, sehingga dapat memberikan stimulasi kepada anak, agar dapat melaksanakan tugas perkembangan dengan baik.
  3. Mengetahui bagaimana membimbing proses belajar anak pada saat yang tepat sesuai dengan kebutuhannya.
  4. Menaruh harapan dan tuntutan terhadap anak secara realistis.
  5. Mampu mengembangkan potensi anak secara optimal sesuai dengan keadaan dan kemampuannya.

Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Perpustakaan


Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia dini (PAUD)
adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak
sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak
memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Pendidikan anak usia dini merupakan kunci utama sukses
tidaknya sebuah program pendidikan nasional suatu bangsa.
Penelitian di bidang neurologi menyebutkan selama
tahun-tahun pertama, otak bayi berkembang pesat dengan
menghasilkan neuron yang banyaknya melebihi kebutuhan.
Sambungan itu harus diperkuat melalui berbagai rangsangan
karena sambungan yang tidak diperkuat dengan rangsangan
akan mengalami atrohy (menyusut dan musnah). Banyaknya
sambungan inilah yang mempengaruhi kecerdasan anak. Dosis
rangsangan yang tepat dan seimbang akan mampu
melipatgandakan kemampuan otak 5 hingga 10 kali kemampuan sebelumnya.

Ironisnya, pemerintah kita terhitung terlambat dalam
memberikan perhatian kepada anak usia dini. Mereka
dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam kondisi "ala
kadarnya".

Sampai saat ini diperkirakan 80 persen
anak usia dini belum tersentuh PAUD. Tatkala anak usia
dini di Singapura sudah terjangkau semuanya dengan PAUD,
anak usia dini di Indonesia masih dibayang-bayangi oleh
ancaman gizi buruk. Data tahun 2002 menunjukkan 1,3 juta
anak Indonesia mengalami kekurangan gizi. Padahal menurut
Azrul Anwar (2002) setiap anak dengan gizi buruk beresiko
kehilangan IQ hingga 10 - 13 poin. Ini berarti
bangsa kita beresiko kehilangan IQ sekitar 22 juta poin.

Secara kualitas maupun kuantitas PAUD masih belum bisa
berjalan sesuai dengan harapan. PAUD yang diselenggarakan
melalui jalur pendidikan formal seperti Taman Kanak-Kanan
dan sejenisnya hanya bisa diakses oleh golongan menengah
ke atas. Masyarakat menengah ke bawah lebih suka langsung
menyekolahkan anaknya ke jenjang Sekolah Dasar untuk
menghemat biaya. Bagi masyarakat lapisan ini masih bisa
titip anak ke Taman Pendidikan Al Quran di Masjid sudah
merasa 'legaaa'.

Yang memprihatinkan saat ini muncul gejala komersialisasi pendidikan anak usia dini dengan menjamurnya TK 'unggulan dan terpadu';. Bagi masyarakat
'pas-pasan'; jangan harap bisa menyekolahkan
anaknya di TK 'unggulan dan terpadu'; ini. Di
kota kecil saja sudah berkisar 2 jutaan, di kota sedang
seperti Solo berkisar 5 jutaan, dan di kota besar seperti
Jakarta konon mencapai angka 10 jutaan atau mungkin bisa
lebih.

Selain gejala komersialisasi, pendidikan anak usia dini juga diwarnai oleh pembebanan yang 'overdosis' terhadap anak. Anak usia dini memperoleh perlakuan yang sama dengan anak usia sekolah dasar. Pembelajaran terlalu fokus pada kemampuan baca, tulis, dan hitung. Orang tua dan guru akan senang sekali jika balita maupun batitanya sudah lancar membaca dan menulis. Sebaliknya akan merasa gundah jika balita dan batitanya belum lancar membaca dan menulis.
Salah kaprah ini terus berlanjut ketika sang anak harus mengikuti tes/ujian masuk SD (Sekolah Dasar). Cukup banyak SD favorit yang menyaring calon siswa dengan menguji
kemampuan baca-tulisnya. Seolah hendak mengatakan bahwa
syarat masuk SD tersebut adalah sudah lancar baca-tulis.
Sehingga guru SD Klas 1 nanti tak perlu repot-repot
mengajari peserta didik baca dan tulis. Padahal orang tua
menyekolahkan anak ke SD adalah supaya anaknya diajari
baca dan tulis.

Dunia anak adalah dunia bermain. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) harus bertitik tolak dari kaidah ini. Pembelajaran anak usia dini harus dibedakan dengan pembelajaran anak usia sekolah dasar. Nuansa bermain tak boleh hilang dari model pembelajaran anak usia dini.

Pembebanan yang berlebihan justru akan berakibat kontaproduktif bagi perkembangan sang anak. Anak bisa menjadi trauma dengan membaca, menulis, dan berhitung. Jadi, pembelajaran pada anak usia dini mestinya lebih bersifat memberi rangsangan pada anak agar tumbuh minatnya dalam membaca, menulis, dan berhitung. Fauzil Adhim (2006) menyebutnya dengan 'semangati jangan bebani'.

PAUD Berbasis Perpustakaan

Perpustakaan dapat dijadikan salah satu alternatif untuk meningkatkan akses anak usia dini terhadap PAUD. Perpustakaan umum kabupaten/kota dapat membuka layanan
khusus anak. Layanan anak ini diberi ruang tersendiri yang
terpisah dengan layanan remaja dan dewasa. Layanan anak
ini sangat relevan jika dikaitkan dengan visi dan misi
perpustakaan yaitu meningkatkan minat baca masyarakat.
Membuka layanan anak berarti merupakan upaya untuk
menumbuhkan minat baca sejak usia dini.

Ruang layanan anak dapat disulap menjadi dunia yang layak
bagi anak-anak. Dunia, di mana semua anak memiliki peluang
cukup besar untuk mengembangkan kapasitas individual
mereka dalam lingkungan yang aman dan supportif. Dunia
yang mendorong perkembangan fisik, psikologis, spiritual,
sosial, emosional, kognitif dan budaya anak-anak sebagai
prioritas nasional dan global.

Alat permainan edukatif dapat menjadi pilihan cerdas
perpustakaan untuk membuat anak-anak betah bermain di
ruang layanan anak. Penggunaan alat permainan edukatif ini
memiliki manfaat, pertama, untuk membantu perkembangan
emosi sosial anak. Balok bangunan, aneka macam mozaik,
puzel lantai, dan papan permainan menurut para ahli sangat
bermanfaat bagi anak untuk belajar menguasai emosi
sosialnya.

Kedua, untuk mengembangkan kemampuan motorik halus
seorang anak. Dalam hal ini dapat digunakan lilin, bikar,
papan tulis, kertas, alat tulis, alat pasang memasang,
kerikil, dan gunting. Penggunaan alat permaianan ini
sangat penting untuk meningkatkan koordinasi antara mata
dan tangan. Ini bertujuan agar anak dapat membuat garis
lurus horizontal, garis lurus vertikal, garis miring
kanan, garis miring kiri, garis lengkung, maupun
lingkaran.

Ketiga, untuk mengembangkan kemampuan motorik kasar
seorang anak, yaitu kemampuan menggunakan otot besar.
Arena mandi bola (melempar dan menagkap bola), titian
bambu (meniti sambil melihat lurus ke depan), perosotan,
ayunan, dan lompat tali merupakan kegiatan permainan yang
dapat menggerakkan bagian-bagian tubuh dengan tangkas dan
tegas.

Keempat, untuk mengembangkan kemampuan berbahasa seperti
mendengar, berbicara, membaca, menulis, dan menyimak.
Untuk meningkatkan kecerdasan berbahasa ini dapat
dipergunakan kumpulan gambar binatang, gambar tumbuhan,
gambar pemandangan alam, gambar panca indera, gambar
anatomi tubuh, gambar huruf, gambar angka, dan cerita
bergambar.

Agar anak-anak semakin menikmati perpustakaan, maka di
ruang layanan anak dapat di gelar layanan mendongeng.
Mendongeng merupakan tradisi lisan tertua di dunia yang
hingga kini belum tergantikan oleh tayangan televisi
maupun VCD sekalipun. Ada nuansa khas tersendiri dalam
mendongeng, yaitu terciptanya komunikasi dua arah antara
pendongeng dan anak-anak. Inilah yang tidak dapat
dilakukan oleh televisi maupun VCD.

Prosesi mendongeng tak perlu disampaikan sampai tamat,
cukup sampai pertengahan. Hal ini bertujuan agar sang anak
yang mencari dan belajar 'membaca'sendiri
buku tersebut. Dengan demikian terjadilah sinergi antara
tradisi lisan dan tradisi baca.

Layanan anak usia dini oleh perpustakaan ini memiliki
beberapa keunggulan, pertama, bersifat gratis. Bagi
masyarakat yang tidak mampu menyekolahkan anaknya ke TK
dapat memanfaatkan layanan ini.

Kedua, bersifat terbuka. Ruang layanan anak dapat diakses
oleh siapapun tanpa membedakan status sosial, ekonomi,
agama, suku, ras, dan golongan. Golongan menengah ke
bawah yang selama ini terpinggirkan dapat memanfaatkan
ruang layananan anak ini untuk memberi kesempatan kepada
batita dan balitanya bermain sambil belajar. Berekreasi di
perpustakaan.

Ketiga, menumbuhkan semangat membaca sejak dini. Dengan
bermain di perpustakaan anak-anak sudah diperkenalkan
sejak dini bahwa perpustakaan dengan segala aktivitas di
dalamnya merupakan tempat yang menyenangkan. Dalam
perkembangan selanjutnya diharapkan anak tidak menganggap
membaca, menulis, dan berhitung sebagai pekerjaan yang
membosankan melainkan menyenangkan.

Ditulis oleh Romi Febriyanto Saputro, S.IP
PNS di UPTD Perpustakaan Kab. Sragen JL. Pemuda No. 1 SRAGEN 57214.