Kamis, 28 Mei 2009

Posisi Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi


Oleh: Hamlan Andi Baso Malla

Pendidikan agama merupakan salah satu komponen mata kuliah pengembangan kepribadian yang wajib diajarkan kepada mahasiswa karena eksistensinya memosisikan diri sebagai sesuatu yang urgen dalam rangka pembentukan kepribadian mahasiswa agar berpendidikan agama yang baik dan mampu memenuhi kebutuhan terhadap kerangka nilai, dapat memberi orientasi yang jelas dalam konteks kehidupan yang senantiasa berubah seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Secara formal-konstitusional, pendidikan agama menempati posisi yang kuat. Meskipun demikian, hal terpenting bukanlah pada kedudukan formalnya, tetapi pada urgensi atau muatan keagamaannya yang dapat ditransformasikan dalam aktivitas pendidikan dengan pendekatan normatif dan holistik terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Tujuanya adalah agar objek kajian pendidikan agama mampu menyikapi modernisasi dan tetap relevan dengan perubahan-perubahan sistem keilmuan yang dikembangkan di pendidikan tinggi.

Karena pentingnya arti dan fungsi pendidikan agama di pendidikan tinggi, pemerintah mengambil langkah strategis dalam merumuskan dan memasukkan pendidikan agama pada kebijakan negara di bidang pendidikan. Hal tersebut dapat dilihat pada amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat 3 yaitu “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989 telah diamanatkan dalam bab IX pasal 39, ”Isi kurikulum pada setiap jenis dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan agama”. Hal yang sama juga termaktub dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 bab V pasal 12 bagian 1 (a) menyebutkan bahwa “Setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.

Kebijakan negara dalam pendidikan nasional tersebut dilatari oleh kondisi masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat religius, masyarakat berbudaya, dan masyarakat beradab, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, sosial-masyarakat maupun politik dari zaman kesultanan, masa penjajahan hingga kini. Hal ini dapat dijadikan sebagai dalil tak terbantahkan bahwa posisi agama sangat kuat dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia.

Mengingat pentingnya agama sebagai landasan moral dan mental bangsa Indonesia, maka pemerintah terus merespon aspirasi umat beragama yang berusaha menjadikan pendidikan agama sebagai salah satu pilar dari sistem pendidikan nasional. Dalam kaitan ini, pemerintah bersikap realistik dengan meningkatkan mutu pendidikan agama. Menyadari hal tersebut, pendidikan agama dalam kehidupan bangsa Indonesia diintrodusir ke dalam sistem pendidikan nasional pada setiap jenis, satuan, dan jenjang pendidikan.

Pada jenjang pendidikan tinggi umum, pendidikan agama baik secara historis maupun konstitusional menempati posisi yang sangat strategis dalam membentuk “character building” anak bangsa. Dengan adanya pendidikan agama, seseorang dapat memahami dan mengamalkan ajaran agamanya secara benar, memahami kedudukan, peranan dan tujuan hidup sebagai hamba dan khalifah. Selain itu, pendidikan agama ditujukan agar mahasiswa memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, dapat merespon perkembangan iptek yang dilandasi nilai-nilai kemanusiaan, keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt. Tujuan lainnya adalah agar mampu menghargai agama yang diyakininya dalam konteks kehidupan modern serta sanggup menemukan kebenaran dalam tataran ideologis (iman) maupun kebenaran dalam tataran empirik melalui pengkajian ilmu–ilmu umum (ayat-ayat kauniyah) yang dipelajarinya.

Dalam kaitan ini, ada dua peran penting agama yang perlu diaplikasikan kepada mahasiswa yaitu: Directive System dan Differentia System. Dalam peran pertama pendididikan agama ditempatkan sebagai referensi utama dalam proses perubahan sebagai supreme morality yang memberikan landasan dan kekuatan etik spritual bagi mahasiswa. Peran yang kedua adalah pendidikan agama menjadi kekuatan resistance bagi mahasiswa ketika berada dalam lingkup kehidupan yang semakin kompleks di tengah derasnya arus modernisasi di era global.

Demikian penting dan strategisnya pendidikan agama, maka eksitensinya tidak dapat dinafikan karena menempati posisi kunci dalam membentuk kepribadian anak bangsa, sekaligus untuk mengintegrasikan secara fungsional dengan berbagai disiplin ilmu atau bidang studi lain yang diajarkan pada pendidikan tinggi. Fungsi agama yang dimaksud adalah fungsi motivatif, fungsi sublimatif, dan fungsi kreatif.

Fungsi agama secara motivatif adalah menjadi etos atau pendorong bagi para pemeluknya untuk berbuat baik kepada orang lain, masyarakat, lingkungan, dan negara. Dengan kata lain, agama dapat memotivasi dalam beramal shaleh. Adapun fungsi kreatif adalah mendorong pemeluknya untuk menciptakan hal-hal baru demi kemudahan dan peningkatan kualitas hidup manusia. Sedangkan fungsi agama sebagai sublimatif adalah mendorong pemeluknya untuk meletakkan setiap sikap dan perbuatannya sebagai suatu ibadah yang diniatkan untuk mencari ridha Allah swt. bukan dengan pamrih untuk kepentingan duniawi. (Amidhan: 2003).

Pada kenyataannya, harapan terhadap pendidikan agama demikian besar, sementara durasi waktu yang dinyatakan dalam beban akademik di pendidikan tinggi sangat minim. Atas dasar itu, pendidikan agama belum memberikan arti fungsional yang signifikan bagi mahasiswa. Selain itu, pendidikan agama dalam prakteknya hanya sebagai pelengkap dan menempati posisi pinggiran (peripheral) dan teralienasi dari sistem pembelajaran karena masih dianggap bukan mata kuliah keahlian, bahkan dianggap tidak penting karena diasumsikan sebagai mata kuliah yang tidak menentukan kelulusan mahasiswa.

Oleh karena itu, diperlukan pengembangan program pembelajaran, bukan hanya berdasarkan jumlah SKS yang diajarkan di kelas pada semester ganjil atau genap, akan tetapi butuh pengembangan pada materi atau kurikulum yang disesuaikan dengan spesifikasi atau program studi yang dipelajari oleh mahasiswa (kurikuler) serta dalam bentuk pengembangan program ko-kurikuler dan ekstra-kurikuler.

Pengembangan ko-kurikuler adalah bentuk kegiatan program tambahan pendidikan agama dilaksanakan di luar kelas yang terkait secara langsung dengan penilaian pembelajaran di kelas. Sedangkan kegiatan ekstra-kurikuler adalah kegiatan-kegiatan mahasiswa yang terkait dengan peningkatan wawasan keagamaan yang diselenggarakan di dalam atau di luar kampus dengan tetap dalam koordinasi dosen pendidikan agama maupun pihak pimpinan lembaga atau institusi pendidikan tinggi tempat mereka belajar.

Sehubungan dengan itu, ada beberapa aspek yang perlu dikembangkan, agar pembelajaran pendidikan agama dapat berlangsung sebagaimana yang diharapkan, yaitu:

Pertama, perlu pemahaman yang lebih komprehensif tentang proses alih nilai dengan kegiatan belajar mengajar. Pemahaman ini amat menentukan bagaimana kompetensi para pendidik atau dosen pendidikan agama dalam mengembangkan kegiatan belajar-mengajar agar dapat memberikan bobot yang memadai bagi terjadinya pendidikan nilai kepada mahasiswa.

Kedua, perlu peningkatan kemampuan penjabaran kurikulum dalam kegiatan belajar-mengajar yang terkait dengan wawasan dan nilai-nilai agama sesuai dengan pendekatan fungsional kualitatif yaitu pendekatan yang menitikberatkan pada substansi kegiatan pembelajaran sebagai wahana proses alih nilai. Penekanan pendekatan ini adalah pada intensitas pendidikan nilai setiap mata pelajaran yang ada secara integratif dan proporsional. Dari berbagai mata kuliah yang ada, dapat dikembangkan proses alih nilai yang berkaitan dengan pendidikan agama.

Ketiga, perlu pemahaman mengenai kontekstualisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-sehari di tengah arus informasi dan globalisasi. Pemahaman ini diperlukan mengingat sistem nilai dalam suatu masyarakat bersifat dinamis, seiring perkembangan masyarakat yang ada. Pemahaman kontekstualisasi nilai ini memungkinkan dosen melakukan pendekatan yang tepat dalam mengembangkan kegiatan belajar-mengajar maupun dalam melakukan interaksi dengan mahasiswa.

Keempat, peran iklim kampus yang kondusif bagi kelangsungan pendidikan agama juga sangat menentukan dalam proses pembelajaran. Kampus beserta kumunitasnya merupakan suatu masyarakat kecil. Intensitas interaksi sesama warga dan sivitas akademik akan mempengaruhi proses pendidikan nilai melalui mekanisme pembiasaan, penghayatan, peneladanan dan pelembagaan. Untuk menciptakan iklim kondusif tersebut, kegiatan intra (kurikuler & ko-kurikuler) dan ekstra kurikuler juga merupakan wahana yang intensif untuk menciptakan proses alih nilai pendidikan agama. (Mastuhu: 1999)

Materi pendidikan agama yang diajarkan sepatutnya bukan hanya didasarkan pada landasan normatif, akan tetapi juga menggunakan pendekatan filosofis. pendekatan filosofis ini akan memperkaya khasanah intelektual mahasiswa tentang agama. Untuk itu, Informasi tentang pembaruan pemahaman agama sebagai adaptasi terhadap kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu diberikan di pendidikan tinggi. Informasi semacam ini akan menyadarkan bahwa agama tidaklah bersifat statis dan dapat mengikuti perkembangan zaman.

Dengan demikian, pendidikan agama dapat memberi solusi terhadap segala masalah yang dihadapi oleh umat manusia serta menjadi landasan moral spiritual dalam melakukan segala aktivitasnya sebagai khalifah Allah swt., untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang kehidupan. Untuk mewujudkan hal tersebut, dosen pendidikan agama di pendidikan tinggi berperan besar dalam proses pembinaan mahasiswa. Dosen memiliki wilayah garapan yang sangat luas sebagai inspirator, inisiator, serta manajer dalam pembinaan, pelayanan bidang agama di kampus. Dosen pendidikan agama Islam misalnya bukan sekadar mengajar dan memberikan perkuliahan pada kegiatan kurikuler di kelas, tetapi mereka juga berfungsi sebagai fasilitator yang dapat menciptakan peluang bagi timbulnya aktivitas keagamaan serta dapat menjadi katalisator, yaitu memiliki kemampuan untuk membangkitkan potensi yang ada, baik tenaga maupun sarana untuk diarahkan menjadi sebuah aktivitas keagamaan, sekaligus sebagai tempat mahasiswa atau orang lain bertanya mengenai berbagai masalah agama di kampus.

Mencermati fungsi dosen pendidikan agama, terlihat bahwa sangat besar tanggung jawabnya dalam proses pendidikan agama bagi mahasiswa. Dosen pendidikan agama idealnya diberdayakan dari segi kualifikasi keilmuan, pengembangan karir dan profesionalitas di bidang tri darma pendidikan tinggi, yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat.

Mengingat tanggung jawab para dosen pendidikan agama yang diamanatkan oleh pemerintah amatlah besar. Baik dosen pendidikan agama dari Departemen Pendidikan Nasional RI maupun dari Departemen Agama RI yang dipekerjakan (DPK), dituntut secara profesional melaksanakan tugasnya dengan baik dalam rangka mengemban misi dakwah dan pendidikan di pendidikan tinggi umum yang pada gilirannya dapat menciptakan generasi bangsa yang berwawasan agama yang integral, modern dan akomodatif terhadap nilai-nilai lokal sehingga generasi bangsa Indonesia ke depan menjadi lebih baik dan maju.(Penulis adalah Dosen PAI STAIN Palu DPK Universitas Tadulako, Mahasiswa Program Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

1 komentar: